{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Sudah Seharusnya Kita Bersyukur

Abu Fathan | 16:36 | 0 comments
Bersyukur kepada Allah Ta’ala merupakan sebuah kewajiban. Allah telah memerintahkannya dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya ialah firman Allah (yang artinya),  “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah” (QS. Al Baqarah : 172)
Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepada kalian. Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan dikembalikan.” (QS. Al ‘Ankabut : 17)Dalam rangka memenuhi perintah tersebut, hendaknya kita mempelajari terlebih dahulu tentang syukur, kemudian mengamalkannya.
Pembahasan tentang syukur merupakan pembahasan yang sangat luas. Dalam tulisan ringkas ini, penulis hanya akan membawakan beberapa poin saja, yaitu keutamaan syukur, hakekat, pondasi-pondasi, dan rukun-rukunnya.

Keutamaan syukur

Dengan mengetahui keutamaan suatu perkara, seseorang akan lebih bersemangat untuk meraihnya. Demikian juga dengan syukur, apabila kita mengetahui keutamaan-keutamaanya yang sangat banyak, tentu kita akan bersungguh-sungguh untuk menjadi orang-orang yang bersyukur.
Keutamaan syukur merupakan perkara yang tidak diragukan lagi. Berikut ini beberapa point yang menjelaskan sebagian dari keutamaan-keutamaan syukur :
  • Syukur merupakan jalan para nabi dan rasul
Allah telah memuji rasul pertama, yaitu Nuh ‘alaihis salaam, dengan sifat syukur. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al Israa : 3)
Allah juga memuji kekasih-Nya, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, dengan sifat mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang  artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). Yang mensyukuri ni’mat-ni’mat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nahl : 120-121)
Allah Ta’ala memerintahkan Musa ‘alaihis salaam, untuk mengambil apa-apa yang diberikan kepadanya, berupa kenabian, risalah, dan hak untuk berbicara langsung kepada-Nya, lalu bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala befirman (yang artinya), “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al A’raf : 144)
Dan ayat-ayat lain yang serupa yang menerangkan bahwasanya syukur merupakan jalan para nabi ‘alahimus salaam.

  • Syukurnya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling mengenal Allah Ta’ala, paling takut, paling bersyukur, paling tinggi kedudukannya di sisi-Nya. Dalam hadis yang shahih dari shahabat Mughiroh bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, “Sungguh dahulu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menegakkan shalat di malam hari hingga membengkak betis atau kakinya. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab : “Apa aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?!”” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Syukur merupakan tujuan pencipataan makhluk
Allah Ta’ala telah mengabarkan hal tersebut melalui banyak ayat dalam Al Qur’an, diantaranya firman-Nya (yang artinya), “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl : 78)
Dia juga berfirman (yang artinya), “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al Qashash : 73)
Di ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An Nahl : 14)
  • Syukur dan iman, sebab tercegahnya adzab
Allah Ta’ala menggabungkan syukur dengan iman, dan menyampaikan bahwasanya tidak ada alasan untuk meng-adzab makhluk-Nya selama mereka masih bersyukur dan beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Mengapa Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Syakir (Maha Mensyukuri) lagi ‘Aliim (Maha mengetahui).” (QS. An Nisa’ : 147)
  • Tujuan utama iblis ialah menghalangi manusia dari bersyukur
Allah mengabarkan bahwasanya musuh-Nya, yaitu iblis, telah menjadikan tujuan utamanya ialah memutuskan manusia dari bersyukur. Demikianlah, karena Iblis mengetahui kedudukan syukur dan mengetahui bahwasanya syukur merupakan kedudukan yang paling tinggi. Allah Ta’alamenghikayatkan ucapan iblis (yang artinya), “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al A’raf : 17)
Hakekat syukur
Hakekat syukur ialah mengakui nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah, dengan disertai ketundukan, perendahan diri, dan kecintaan kepada-Nya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengetahui adanya kenikmatan, dia tidak bersyukur. Barangsiapa yang telah mengetahui adanya kenikmatan namun tidak mengetahui dzat yang memberikannya (yaitu Allah Ta’ala), dia tidak bersyukur. Barangsiapa yang telah mengetahui adanya kenikmatan dan telah mengetahui dzat yang memberikannya, namun mengingkarinya, dia telah kufur nikmat. Barangsiapa telah mengetahui adanya kenikmatan dan dzat yang memberikannya, juga tidak mengingkarinya, namun dia tidak tunduk, tidak mencintai-Nya, serta tidak ridho, maka dia tidak mensyukuri nikmat. Dan, barangsiapa yang telah mengetahui adanya kenikmatan, dan mengetahui dzat yang memberikannya, tunduk dan mencintai-Nya, ridho dengan-Nya dan pemberian dari-Nya, serta menggunakan kenikmatan tersebut untuk perkara-perkara yang dicintai-Nya dan ketaatan kepada-Nya, dialah orang yang mensyukuri nikmat.
Lima pondasi syukur
Dengan demikian, jelaslah bahwa syukur dibangun di atas lima pondasi :
  1. ketundukan kepada Allah,
  2. kecintaan kepada-Nya,
  3. pengakuan atas nikmat-nikmat-Nya,
  4. pujian kepada-Nya,
  5. penggunaan nikmat bukan untuk hal yang dibenci-Nya.
Apabila hilang satu poin dari poin-poin di atas, maka akan hilang satu pondasi syukur.
Syukur ialah dengan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan hati, ialah tunduk, ridha, dan cinta. Dengan lisan, ialah memuji dan mengakui. Dengan anggota badan, ialah taat dan patuh. (lihat Madaarikus Saalikiin, hal. 244-246)
Tiga rukun syukur
Syukur kepada Allah berputar di atas tiga rukun. Tidaklah seseorang dikatakan bersyukur, kecuali apabila telah terkumpul padanya ketiga rukun tersebut, yaitu :
  1. Mengakui kenikmatan dari Allah dalam lubuk hatinya, bahwasanya kenikmatan-kenimkatan yang dia peroleh merupakan pemberian dari Allah.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa saja nikmat yang ada pada kalian, semua dari Allah (datangnya).” (QS. An Nahl : 53)
  1. Menceritakan kenikmatan tersebut secara terang-terangan, maka dia memuji Allah, bersyukur kepada-Nya, dan tidak menyandarkan kenikmatan kepada selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha : 11)
  1. Menggunakan kenikmatan untuk membantunya mendapatkan keridhaan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ : 13)
Semoga Allah memberikan rizqi kepada kita berupa rasa syukur terhadap nikmat-nikmat-Nya, dan menolong kita untuk senantiasa berdzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya dengan baik.
Disarikan dari Khutbah Jum’at Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin Abdul Muhsin al ‘Abbaad hafizhahullaah, berjudul Fadhlus Syukr, pada tanggal 28 dzulhijjah 1421 H. http://al-badr.net/detail/cmXvryWU5O
Penulis : Prasetyo, S.Kom (Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud, BIS

Bercanda dan Tertawa

Abu Fathan | 17:57 | 0 comments
Apakah Anda termasuk orang yang suka bercanda? Ataukah Anda adalah orang yang sangat serius dan tidak suka bercanda? Apakah Anda termasuk orang yang banyak tertawa? Ataukah Anda termasuk orang yang tidak sering tertawa?
Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai watak dan perilaku. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya orang yang memiliki watak demikian. Karena tertawa adalah fitrah manusia, yang tidak diberikan kepada hewan. Apakah pembaca pernah mendapatkan hewan yang tertawa? Jujur saja penulis sendiri belum pernah mendapatkannya. Mungkin, kalau pun ada itu hanya terjadi pada momen-momen tertentu dan sangat jarang sekali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan beberapa nasihat kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, di antara nasihat tersebut adalah perkataan beliau:
(( وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَفَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ.))
Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”1
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah tertawa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa. Banyak hadits yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dalam haditsqudsi yang panjang, Allah ta’ala berkata kepada anak adam:
(( يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِى مِنْكَأَيُرْضِيْكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا؟))
Wahai anak adam! Saya tidak akan menghalangi apa yang engkau inginkan. Apakah engkau ridha jika saya berikan kepada engkau dunia dan ditambah dengan yang semisalnya? “
Anak Adam itu pun berkata:
(( يَا رَبِّ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟))
Wahai Rabb-ku! Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?
Kemudian Ibnu Mas’ud pun tertawa dan berkata, “Mengapa kalian tidak bertanya kepadaku, mengapa aku tertawa?” Murid-murid Ibnu Mas’ud pun bertanya, “Mengapa engkau tertawa?” Beliau menjawab, “Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Para sahabat pun bertanya kepada Rasulullah, ‘Mengapa engkau tertawa, ya Rasulullah?’ Beliau pun menjawab:
(( مِنْ ضِحْكِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حِيْنَ قَالَ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟ فَيَقُوْلُ إِنِّيْ لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ وَلَكِنِّيْ عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ.))
Karena tawanya Rabb alam semesta ketika dia (anak adam) berkata: Apakah Engkau mengejekku sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?’ Kemudian Allah berkata, ‘Sesungguhnya Aku tidak mengejekmu, tetapi semua yang Aku inginkan Aku mampu.’.2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas melarang seseorang untuk banyak tertawa dan bukan melarang seseorang untuk tertawa. Tertawa yang banyak dan berlebih-lebihanlah yang mengandung celaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, para sahabat pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا )
Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau sering mencandai kami.
Beliau pun berkata:
(( إِنِّيْ لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.))
Sesungguhnya saya tidaklah berkata kecuali yang haq (benar).3
Di antara canda-canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercantum pada dua hadits berikut:

Hadits 1

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم– فَقَالَ: ( يَا رَسُوْلَ اللَّهِ احْمِلْنِى.) قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم-: (( إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ )). قَالَ: (وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم-: (( وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ.))
Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia pun berkata, “Ya Rasulullah! Angkatlah saya (ke atas onta)!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Sesungguhnya kami akan mengangkatmu ke atas anak onta.” Lelaki itu pun berkata, “Apa yang saya lakukan dengan seekor anak onta?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankan onta-onta perempuan melahirkan onta-onta?4
Beliau mencandai orang tersebut dengan menyebut ontanya dengan anak onta. Orang tersebut memahami perkataan beliau sesuai zahirnya, tetapi bukankah semua onta yang ada adalah anak-anak dari ibu onta?

Hadits 2

عَنِ الْحَسَنِ قَالَأَتَتْ عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَفَقَالَ: ((يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ.)) قَالَفَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: (( أَخْبِرُوهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ : { إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً 0فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا 0عُرُبًا أَتْرَابًا } )).
Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang nenek tua mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Beliau pun mengatakan, ‘Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah ta’ala mengatakan: (35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS Al-Waqi’ah)5
Jika kita perhatikan haditshadits di atas, maka kita akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda pada beberapa keadaan tertentu, tetapi canda beliau tidak mengandung kedustaan dan selalu benar.
Orang yang terlalu serius dan selalu terlihat tegang dan kaku, kehidupannya akan terasa sangat penat dan suntuk. Orang jenis ini seharusnya memasukkan canda di dalam hidupnya sehingga terhindar dari pengaruh buruk tersebut.
Sebaliknya orang yang terlalu sering bercanda, maka sebaiknya dia belajar untuk dapat melatih lisannya agar bisa terbiasa diam dan hanya berbicara pada hal-hal yang bermanfaat saja.
Seorang penyair terkenal, Abul-Fath Al-Busti6 rahimahullah pernah mengatakan:
أَفْدِ طَبْعَك الْمَكْدُودَ بِالْجِدِّ رَاحَةً يُجَمُّ وَعَلِّلْهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْمَزْحِ
وَلَكِنْ إذَا أَعْطَيْتَهُ الْمَزْحَ فَلْيَكُنْ بِمِقْدَارِ مَا تُعْطِي الطَّعَامَ مِنْ الْمِلْحِ
Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius
Dirilekskan dulu dan hiasilah dengan sedikit canda
Tetapi jika engkau berikan canda kepadanya, jadikanlah ia
Seperti kadar engkau memasukkan garam pada makanan
Layaknya makanan, apabila tidak diberi garam maka dia akan terasa hambar. Akan tetapi, jika terlalu banyak diberikan garam, maka tidak akan enak untuk dimakan.
Sesuatu yang berlebih-lebihan, kebanyakan akan membawa dampak buruk. Sama halnya dengan bercanda dan tertawa. Apabila terlalu sering bercanda dan tertawa, maka akan mengakibatkan banyak keburukan.
Di antara keburukan-keburukan orang yang sering bercanda dan tertawa adalah sebagai berikut:
  1. Hatinya menjadi mati, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
    Jika hati seseorang mati, maka akan berakibat buruk baginya, di antaranya: Bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan suatu kemaksiatan, tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan, tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allahbertambahnya kecintaannya terhadap dunia dan mendahulukannya atas akhirat, tidak tenang hatinya dan selalu merasa gundah, bertambahnya dan meningkatnya kemaksiatan yang dilakukannya, tidak mengenal atau tidak membedakan perbuatan ma’ruf dan munkar dll.7
  1. Menyibukkan diri sehingga tidak mengerjakan hal-hal yang bermanfaat dan tidak memiliki wibawa
    Oleh karena itu Imam Al-Mawardi pernah mengatakan:
    وَأَمَّا الضَّحِكُ فَإِنَّ اعْتِيَادَهُ شَاغِلٌ عَنْ النَّظَرِ فِي الْأُمُورِ الْمُهِمَّةِ ، مُذْهِلٌ عَنْ الْفِكْرِ فِي النَّوَائِبِ الْمُلِمَّةِ.
    وَلَيْسَ لِمَنْ أَكْثَرَ مِنْهُ هَيْبَةٌ وَلَا وَقَارٌ، وَلَا لِمَنْ وُصِمَ بِهِ خَطَرٌ وَلَا مِقْدَارٌ. 
    …Adapun tertawa, apabila seseorang membiasakannya dan terlalu banyak tertawa, maka hal itu akan melalaikan dan melupakannya dari melihat hal-hal yang penting. Dan orang yang banyak melakukannya, tidak akan memiliki wibawa dan kehormatan. Dan orang yang terkenal dengan hal itu tidak akan memiliki kedudukan dan martabat.8
  1. Menimbulkan permusuhan secara tidak sengaja dan lain-lain.
Bercanda pun memiliki adab-adab. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memperhatikan adab-adab tersebut. Di antara adab-adab bercanda adalah sebagai berikut:
  1. Tidak boleh ada kedustaan di dalam canda tersebut.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.)
    Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.”9 
    Di zaman sekarang ini, banyak orang yang bekerja sebagai pelawak. Kebanyakan mereka tidak bisa menjaga lisannya dari kedustaan. Oleh karena itu, sebaiknya mereka segera mencari pekerjaan lain yang benar-benar terhindar dari hal yang diharamkan.
    Begitu pula kepada para muballigh yang gemar membuat orang tertawa, sudah sepantasnya isi ceramahnya jangan mengada-ada, harus ilmiah dan memiliki rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan.
  1. Tidak boleh ada unsur penghinaan atau pelecehan terhadap agama Islam
    وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66) }
    “ (65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (66) Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. jika kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah : 65-66)Di zaman sekarang ini, banyak orang yang suka mengejek ajaran agama Islam dan menjadikannya sebagai bahan lelucon. Sebagai contoh: penghinaan terhadap jenggot dan mengatakan orang yang memanjangkan jenggotnya seperti kambing, penghinaan terhadap jilbab dan mengatakan itu hanya pakaian orang gurun, penghinaan terhadap cadar dan mengatakan bahwa itu ciri-ciri teroris, penghinaan terhadap orang yang tidak isbal (mengenakan kain di bawah mata kaki) dan mengatakan bahwa orang itu kebanjiran dan lain-lain.
    Berdasarkan ayat di atas orang yang menghina ajaran Islam terancam untuk keluar dari agama Islam, disadari maupun tidak. Oleh karena itu, jangan sampai kita menganggap remeh permasalahan-permasalahan seperti ini.
  1. Tidak boleh ada unsur ghibah dan peremehan terhadap seseorang, suku atau bangsa tertentu 
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) } 
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujurat: 11)
  1. Tidak boleh mengambil barang orang lain, meskipun bercanda 
    (( لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا.)) 
    “Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.”10 
    Meskipun bercanda, mengambil barang teman dengan tujuan menyembunyikan dan membuat dia bingung, hal tersebut tidak diperkenankan di dalam agama Islam.
  1. Tidak boleh menakut-nakuti orang lain. 
    (( لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا.)) 
    “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.”11
  1. Tidak boleh menghabiskan waktu hanya untuk bercanda 
    (( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.)) 
    “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya.”12
  1. Tidak boleh berbicara atau melakukan hal-hal yang melanggar syariat, seperti: menyebutkan ciri-ciri wanita yang tidak halal baginya kepada orang lain, menipu, melaknat dll.
Demikianlah beberapa penjelasan tentang canda dan tawa yang tercela dan yang diperbolehkan. Mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.
Daftar Pustaka
  1. Adabud-Dunya wad-Din. ‘Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi. Tahqiq: Muhammad Karim Rajih. Dar Iqra’.
  2. Al-Bidayah wan-Nihayah. Abul-Fida’ Isma’il bin’Umar bin Katsir. Tahqiq: ‘Ali Syairi. Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
  3. Dzammu Qaswatil-Qalb. Al-Hâfidzh Ibnu Rajab Al-Hanbali dan Muqaddimah muhaqqiq-nya, Abu Maryam Thâriq bin ‘Âtif hijâzi. Dâr Ibni Rajab.
  4. Dzammul-Hawa. ‘Abdurrahmân bin Abil-Hasan Al-Jauzi. Tahqiq : Mushthafa ‘Abdul-Wahid.
  5. Al-Maraah fil-mizaah. Abul-Barakaat Badruddin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazi. Tahqiq: Bassam bin ‘Abdil-Wahhab Al-Jabi. Dar Ibni Hazm.
  6. Walaa tuktsiridh-dhahik, fainna katsratadh-dhahik tumitul-qalba. Dr. Badr bin ‘Abdil-Hamid. (http://www.saaid.net/Doat/hamesabadr/26.htm)
  7. Dan lain-lain, sebagian besar tercantum pada footnotes.
1  HR At-Tirmidzi no. 2305. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi.)
2  HR Muslim no. 310.
3  HR At-Tirmidzi no. 1990. Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” (Ash-Shahihah IV/304).
4  HR Abu Dawud no. 5000 dan At-Tirmidzi no. 1991. Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” (Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Sunan At-Tirimidzi).
5  HR At-Tirmidzi dalam Syamaa-il-Muhammadiyah no. 240. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Mukhtashar Syamaa-il dan Ash-Shahiihah no. 2987).
6  Adabud-Dunya wad-Din hal. 319 dan Al-Bidayah wan-Nihayah (XI/316)
7  Lihat: Hinanya Hati Yang Keras. Said Yai. Majalah As-Sunnah.
8  Adabud-Dunya wad-Din hal.321.
9  HR Abu Dawud no. 4990. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Targhib wat-Tarhiib no. 2944).
10  HR Abu Dawud no. 5003. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
11  HR Abu Dawud no. 5004, . Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
12  HR At-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976.
Penulis: Ustadz Sa’id Yai, Lc.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger