Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum sebagai rujukan dalam memahami Islam
“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (setan dan sesembahan selain Allah) yaitu dengan tidak menyembahnya serta kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; karena itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku—(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar: 18)
Ayat di atas jelas sekali menceritakan keadaan para sahabat, di mana mereka adalah orang-orang yang mau menggunakan akalnya untuk berpikir dan mengkaji ajaran Islam pada saat masyarakat di sekitarnya menghindar dan menjauhinya. Saat ajaran Islam melalui Alquran dan hadisnya sampai ke telinga mereka, mereka pun menyimaknya, memikirkannya “Apakah ajaran ini benar atau tidak”, setelah ayat dan hadis selesai disampaikan, mereka pun tahu bahwa “Islam adalah agama yang benar”, mereka pun mengikutinya. Sehingga Allah memuji mereka dengan firman-Nya “sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku—(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya” dan menyebut mereka sebagai orang-orang yang“telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Namun masyarakat di sekitarnya “Masyarakat Jahiliyyah” setelah melihat semakin banyak orang yang mengikuti ajaran tersebut, tidak rela dan tidak tinggal diam begitu saja. Mereka mencari cara agar “Dakwah” ini berhenti dan orang-orang yang mengikutinya meninggalkan. Mulailah mereka menyerang da’inya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya para pengikutnya yaitu para sahabat. Di antara cara yang mereka tempuh adalah dengan menindas para pengikutnya dengan berbagai bentuk penyiksaan dan penindasan.
Saat penindasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap para sahabat semakin menjadi, turunlah surat Al Kahfi kepada Rasulullah Di surat tersebut terdapat tiga kisah; kisah As-habul Kahfi, kisah Khidhr bersama Nabi Musa ‘alaihis salam dan kisah Dzul Qarnain.
Dalam kisah As-habul Kahfi terdapat petunjuk bagi para sahabat agar mereka berhijrah dari negeri yang dilarang beribadah kepada Allah menunju negeri yang aman menjalankan ibadah, yaitu pada ayat:
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka serta apa yang mereka sembah selain Allah, Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al Kahfi:16)
Dalam kisah Khidr dan Nabi Musa ‘alaihis salam terdapat pelajaran bahwa suatu kondisi tidak mesti selalu berjalan sesuai zahirnya; meskipun secara kasat mata seharusnya begini atau begitu, tetapi siapa tahu ternyata berbeda. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
Nantinya orang-orang kafir yang zalim itu akan mundur dan dikalahkan oleh kaum muslimin yang sebelumnya tertindas.
Dalam kisah Dzul Qarnain terdapat pelajaran bahwa dunia ini akan Allah wariskan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, merekalah orang-orang yang berhak mewarisinya (lihat pula surat QS. An Nuur: 55).
Hijrahnya para Sahabat ke Habasyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya telah mengetahui bahwa raja Habasyah “As-hamah an-Najasyi” adalah raja yang adil; ia tidak suka menzalimi seseorang. Maka Beliau menyuruh para sahabat untuk hijrah ke Habasyah; menyelamatkan agama mereka. Hijrah pertama terdiri dari enam belas orang; dua belas laki-laki dan empat wanita. Dan hijrah kedua terdiri dari delapan puluh lebih laki-laki dan belasan wanita. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tinggal di Makkah berdakwah kepada orang-orang musyrik.
Hijrahnya para sahabat ke Habasyah membuat orang-orang musyrik jengkel. Mereka pun mengirimkan dua orang utusan, yaitu ‘Amr bin Aash dan Abdullah bin Abi Rabii’ah –saat mereka berdua masih kafir- dengan membawa hadiah untuk diberikan kepada Raja Habasyah dan pemuka-pemukannya yang terdiri dari para uskup.
Setelah utusan orang-orang musyrik menghadap ke raja Najasyi, mulailah keduanya berbicara sbb:
“Baginda raja! Ada beberapa orang yang kurang akalnya pergi berlindung ke negeri anda, mereka tinggalkan agama kaumnya dan tidak mau memeluk agama anda. Mereka datang membawa agama baru yang mereka ada-adakan, kami maupun anda tidak mengenalnya. Pemuka-pemuka kaum mereka yang terdiri dari bapak, paman dan keluarga mereka telah mengutus kami agar anda mengembalikan orang-orang itu kepada mereka; mereka adalah orang-orang yang lebih dalam memandang (masalah) dan lebih mengetahui apa yang mendorong orang-orang tersebut mencela dan memaki mereka.”
“Benar sekali, Wahai baginda raja! Serahkanlah saja mereka kepadanya, agar mereka mengembalikan ke kaumnya dan negerinya,” jawab para uskup.
Akan tetapi Raja Najasyi tidak gampang percaya dengan kata-kata mereka tanpa terlebih dahulu meneliti. Ia pun mengirim utusan untuk memanggil orang muslim dan mengundangnya.
Kaum muslim yang berhijrah pun datang menghadiri undangan tersebut. Ketika itu juru bicaranya adalah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini dialognya:
Raja Najasyi berkata, “Apa sebenarnya agama yang menyebabkan kamu meninggalkan (agama) kaum kamu, tidak mau masuk ke dalam agamaku dan tidak juga ke dalam agama yang lain di antara beberapa agama?”
Ja’far menjawab, “Wahai baginda, dahulu kami orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, mengerjakan perbuatan keji, memutuskan tali silaturrahim, berbuat jahat kepada tetangga dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah, dahulu kami seperti ini. Lalu Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami, kami mengenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya dan kesucian dirinya. Dia menyeru kami untuk beribadah kepada Allah; agar kami mengesakan-Nya dan menyembah (hanya) kepada-Nya. (Dia menyuruh kami) meninggalkan sesembahan yang selama ini kami dan nenek moyang kami menyembahnya berupa batu dan berhala. Dia menyuruh kami berkata-kata jujur, menunaikan amanah, menyambung tali silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindarkan diri dari perbuatan haram serta menumpahkan darah. Demikian juga melarang kami mengerjakan perbuatan keji, berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang baik-baik. Dia menyuruh kami beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, juga menyuruh kami mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa…dst (Ja’far menyebutkan sebagian ajaran Islam yang lain). Maka kami membenarkannya, mengimaninya dan mengikuti apa yang dibawanya berupa agama Allah. Kami pun beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, kami mengharamkan yang diharamkan kepada kami dan menghalalkan yang dihalalkan kepada kami. Namun kaum kami malah memusuhi kami, mereka menghukum kami, menyiksa kami agar kami keluar dari agama kami kembali menyembah berhala selain Allah Ta’ala, juga agar kami menghalalkan kembali perbuatan-perbuatan buruk yang pernah kami halalkan. Ketika mereka menindas kami, menzalimi kami dan mempersempit ruang gerak kami serta menghalangi kami menjalankan agama kami. Kami pun berhijrah ke negeri anda, memilih anda daripada yang lain, kami lebih senang berdampingan dengan anda, serta kami berharap agar kami tidak dizalimi di hadapan anda wahai baginda.”
Raja Najasyi berkata, “Apakah kamu hapal sedikit wahyu yang dibawanya dari sisi Allah?”
“Ya.” Jawab Ja’far.
“Kalau begitu bacakanlah kepadaku!”
Maka Ja’far membacakan kepadanya surat Maryam. Ketika mendengarnya Raja Najasyi pun menangis, sampai membasahi janggutnya. Demikian pula para uskup, mereka menangis sampai membasahi kitab-kitab mereka.
Setelah itu raja Najasyi berkata, “Sesungguhnya kata-kata ini dengan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari sumber yang sama.”
Lalu Raja Najasyi mengatakan kepada ‘Amr bin ‘Aash dan Abdullah bin Abi Rabii’ah, “Pergilah kamu berdua! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kamu berdua selama-lamanya.”
Demikianlah dialog antara raja Najasyi dengan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ja’far bin Abi Thaalib, dan nantinya raja Najasyi pun masuk Islam setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat kepadanya; mengajaknya memeluk Islam.
Pentingnya Memahami Alquran dan Hadis dengan Pemahaman Para Sahabat
Sebagaimana kita ketahui bahwa para sahabat adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (lih. Az Zumar: 18) dan sebagai orang-orang yang diridhai Allah (lih. At Taubah: 100), maka kita diperintahkan mengikuti jejak mereka (lih. An Nisaa’: 115); mengikuti juga bagaimana mereka memahami Alquran dan Hadis. Apalagi di zaman sekarang, zaman di mana beraneka ragamnya orang-orang memahami Alquran dan Hadis, masing-masing beralasan dengan ayat Alquran atau hadis, namun pada kenyataannya berbeda dengan pemahaman dan praktek Rasulullah dan para sahabat. Padahal para sahabat adalah cermin ajaran Islam. Jika sudah berbeda dengan praktek Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, berarti tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Alquran dan hadis.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah barometer (tolok ukur) dalam menentukan kebenaran ketika terjadi banyak perbedaan. Jika sesuai dengan yang dipahami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka berarti pemahamannya terhadap Alquran dan hadisnya benar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ *
“Kamu akan melihat setelahku perselisihan yang dahsyat. Maka kamu harus berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan geraham serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap bid’ah adalah sesat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Dalam hadis tersebut dijelaskan jalan keluar menghadapi perselisihan seperti di zaman sekarang, yaitu dengan mengikuti Sunnah Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (pemahaman) para sahabat atau dengan kata lain pemahaman “As Salafush Shaalih” (generasi pertama Islam).
Sehingga dengan ini anda tidak perlu bingung melihat kenyataaan yang ada, dengan mempelajari Alquran dan As Sunnah dengan pemahaman para sahabat serta para ulama yang mengikuti jejak mereka, anda dapat memilah, mana yang harus anda ikuti dan mana yang tidak. Wallahu a’lam.
Oleh: Marwan bin Musa
Maraaji’: Ar Rahiiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubaarakfuuriy) dan Takhrij Fiqhis Siirah (Syaikh Al Albani).
0 comments:
Post a Comment