Menikah dan berumah tangga merupakan fitrah setiap manusia yang diciptakan oleh Allah dengan kecenderungan menyukai lawan jenis dan hidup berpasangan. Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS an-Nisaa’: 1).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ}
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah” (QS an-Nahl: 72).
Dengan berumah tangga, seorang manusia bisa mencurahkan cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarganya, yang dengan itu semua dia bisa merasakan ketentraman dan kedamaian dalam hidupnya.
Oleh karena itulah, agama Islam yang diturunkan oleh Allah untuk kebaikan hidup manusia, sangat menganjurkan dan menekankan pentingnya berumah tangga, serta mengatur hukum dan adab yang berhubungan dengannya untuk tujuan mewujudkan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi manusia.
Hikmah dan tujuan pernikahan dalam Islam
Allah berfirman:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS ar-Ruum: 21).
Ayat yang mulia ini menjelaskan tujuan dan hikmah agung disyariatkannya pernikahan dalam Islam, yaitu untuk menjadikan seorang manusia merasakan ketenangan dan kedamaian ketika bersama istrinya, dengan keduanya saling mencintai dan berkasih sayang, bahkan hampir tidak dijumpai dua orang yang saling mencintai dan berkasih sayang seperti suami dan istri
[1]. Oleh karena itulah, Allah menjadikan istri seorang manusia dari jenisnya sendiri, supaya dia merasa tentram dan tidak takut kepadanya. Kemudian dari hubungan inilah lahir keturunan yang merupakan tujuan dari pernikahan
[2].
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa Allah mensyariatkan agama Islam untuk tujuan memberikan kemaslahatan dan kebaikan hidup bagi manusia, karena Dia maha sempurna kasih sayang dan anugerah kebaikan-Nya bagi hamba-hamba-Nya, sehingga Dia mensyariatkan pernikahan dalam Islam untuk tujuan mulia yang tersebut di atas. Inilah makna firman-Nya dalam ayat di atas: “Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya…”, yaitu yang menunjukkan sempurnanya kasih sayang dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, serta sempurnanya hikmah dan ilmu-Nya yang maha luas
[3].
Dalam ayat lain, Allah lebih menegaskan hikmah yang agung ini, Allah berfirman:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا}
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tentram kepadanya” (QS al-A’raaf: 189).
Imam asy-Syaukani berkata: “Sebab (hikmah) penciptaan istri dari jenis manusia sendiri adalah suami merasa tentram, tenang dan bahagia bersamanya”
[4].
Oleh karena itulah, Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah sangat menganjurkan dn memotivasi umatnya untuk menikah dan berumah tangga, karena di samping untuk tujuan agung di atas, pernikahan islami juga merupakan sebab kuat untuk menjaga kesucian dan kehormatan diri, dengan menyalurkan hasrat dan kecenderungan syahwat manusia secara benar dan pada tempat yang halal.
Misalnya sabda Rasulullah : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mampu untuk memberi nafkah lahir dan batin maka hendaknya dia menikah, karena sesungguhnya hal itu lebih menjaga pandangan dan memelihara kemaluan (kesucian), dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi pengekang syahwat baginya”
[5].
Bahkan penyaluran syhwat yang halal ini bernilai ibadah di sisi Allah jika diniatkan untuk tujuan-tujuan mulia di atas. Rasulullah bersabda: “Ketika salah seorang dari kalian mengumpuli (istrinya) maka itu bernilai sedekah”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kami memuaskan syahwatnya (terhadap istrinya) maka dia mendapatkan pahala? Rasulullah bersabda: “Bagaimana pandangan kalian jika suami tersebut menyalurkan syahwatnya di tempat yang haram, bukankah dia mendapat dosa? Maka demikian pula jika dia menyalurkannya di tempat yang halal, dia akan mendapatkan pahala”
[6].
Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil (argumentasi) bahwa perbuatan-perbuatan yang (hukum asalnya)
mubah(boleh/jika dilakukan tidak berdosa dan tidak berpahala) bisa berubah menjadi ketaatan (berpahala/bernilai ibadah) dengan niat yang benar. Maka berhubungan suami istri (bisa bernilai) ibadah jika suami meniatkan itu untuk menunaikan hak istri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana yang Allah perintahkan (dalam al-Qur’an), atau (untuk tujuan) mencari anak yang shalih, menjaga kehormatan diri dan istri, serta menjaga keduanya dari melihat kepada yang haram, memikirkannya atau menginginkannya, atau tujuan-tujuan baik lainnya”
[7].
Makna sakinah, mawaddah dan rahmah serta cara untuk meraihnya
Secara bahasa, sakinah, mawaddah dan rahmah berarti ketenangan, cinta suci dan kasih sayang. Penjelasan para ulama ahli tafsir tentang makna tiga kata ini berkisar pada makna secara bahasa di atas.
Ini berarti bahwa pernikahan yang disyariatkan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan ketenangan dalam diri anggota keluarga yang berlandaskan cinta dan kasih sayang yang suci.
Oleh karena itu, ketenangan, cinta suci dan kasih sayang yang hakiki tidak mungkin terwujud kecuali dengan menjadikan landasan rumah tangga ketaatan kepada Allah dan upaya untuk meraih keridhaan-Nya. Karena segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang diingankan oleh manusia ada di tangan Allah dan Dialah yang memilikinya. Rasulullah mengisyaratkan hal ini dalam doa beliau: “…(Ya Allah) kebaikan itu semua ada di tangan-Mu, dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”
[8].
Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan, kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup manusia, hanya akan diraih dengan memahami dan mengamalkan petnjuk-Nya, sebagaimana berpaling dari petunjuk-Nya merupakan sumber utama kesengsaraan dan kesempitan hidup. Allah berfirman:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. ِِan-Nahl:97).
Dan firman-Nya:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Juga firman-Nya:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى}
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit/sengsara (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan” (QS Thaahaa: 124-126).
Dan di antara nama-nama Allah yang maha indah adalah
ar-Rahman (Yang Maha Pengasih),
ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang) dan
al-Waduud (Yang Maha Mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan merekapun mencintai-Nya)
[9]. Maka semua bentuk cinta dan kasih sayang berasal dari-Nya dan Dialah yang melimpahkan semua itu kepada manusia. Sehingga tidak mungkin cinta dan kasih sayang yang hakiki tidak mungkin dapat terwujud dalam keluarga jika mereka berpaling dari petunjuk Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Salah mengartikan makna cinta dan kasih sayang
Banyak orang salah mengartikan dan menempatkan makna cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarga, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan petunjuk Allah , yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri. Inilah makna firman Allah :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah
[10].
Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”
[11].
Maka pelanggaran terhadap syariat Allah dan perbuatan maksiat yang dilakukan anggota keluarga, inilah yang menjadi penyebab utama tidak terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tersebut. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah berfirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna yang terungkap dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan: “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”
[12].
Maka ketika tingkah laku dan sikap anggota keluarga satu sama lainnya menjadi buruk, disebabkan perbuatan maksiat yang mereka lakukan, apakah mungkin akan tercipta keharmonisan dan hubungan baik di antara mereka? Lalu apakah mungkin dalam keluarga seperti ini akan terwujud sakinah, mawaddah dan rahmah (ketenangan, cinta dan kasih sayang)?.
Solusi dan penutup
Inilah arti sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagai balasan kebaikan yang Allah segerakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya dalam kehidupan dunia, sebelum kelak di akhirat nanti Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dan sempurna bagi mereka. Allah berfirman:
{جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ. سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ}
“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan): “Keselamatan/kesejahteraan bagi kalian karena kesabaran kalian”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” (QS ar-Ra’d: 23-24).
Inilah hakikat ketenangan dan kedamaian dalam jiwa yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman, ketika mereka mendapati anggota keluarga mereka selalu taat kepada Allah . Oleh karena itulah Allah memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah, demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah “
[13].
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadi sebab untuk meraih kebahagiaan hidup sejati di dunia dan akhirat.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 21 Dzulqa’dah 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Sebagaimana yang disebutkan dalam HR Ibnu Majah (no. 1847) dan al-Hakim (2/174), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, disepakati oleh imam adz-Dzahabi dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 624) karena diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan yang saling menguatkan.
[2] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (3/255) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 639).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 639).
[4] Kitab “Fathul Qadiir” (2/399).
[5] HSR al-Bukhari (no. 4778) dan Muslim (no. 1400).
[6] HSR Muslim (no. 1006).
[7] Kitab “Syarhu shahih Muslim” (7/92).
[8] HSR Muslim (no. 771).
[9] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 388).
[10] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[11] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[12] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).
[13] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).