Segala puji bagi Allah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat dan
perbuatan-Nya, Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya, Yang Maha Bijaksana dalam
segala keputusan-Nya.
Berikutnya selawat dan salam buat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam
yang telah diutus untuk sebagai pembawa rahmat kepada seluruh alam. Tidaklah
sempurna keimanan seseorang sampai ia mencintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa
Sallam melebihi dari mencintai orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya,
bahkan dari dirinya sendiri.
Beliau bersabda:
((لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين))
[متفق عليه].
“Tidaklah sempurna iman salah seorang kalian samapai aku lebih ia cintai
dari orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya”.[1]
Diantara bukti penghormatan dan kecintaan seseorang kepada Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wa Sallam adalah mencintai dan memuliakan keluarga beliau.
Sebagaimana beliau perintahkan dalam sabdanya:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
“
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak) kelurgaku“[2].
Berkata Imam Baihaqy: ”Termasuk bagian dari menganggungkan Nabi Sallallahu
Alaihi Wa Sallam adalah menghormati para keluarganya serta anak-anak kaum
Muhajirin dan Anshar” [3].
Dalam bahasan kali ini, kita akan mengupas tentang pandangan Ahlussunnah wal
Jama’ah tentang kemulian Ahlul Bait (Keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam)
dan kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait. Topik ini akan kita
bagi kepada beberapa bagian sebagaimana berikut:
- Tujuan Pembahasan.
- Pengertian Ahlul Bait.
- Dalil dari ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang kemulian Ahlul Bait.
- Dalil dari Sunnah yang menerang tentang kemulian Ahlul Bait.
- Perkataan para ulama Ahlussunnah tentang kemulian Ahlul Bait.
- Kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait.
( Tujuan Pembahasan )
Tujuan kita membahas topik ini adalah:
- Penjelasan kepada kaum muslimin, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap
keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam (Ahlul Bit) sesuai pandangan
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Para ulama Ahlussunnah yang menulis kitab-kitab Aqidah tidak pernah
melewatkan tentang topik ini. Ini menunjukkan akan penting dan urgennya masalah
ini untuk diketahui oleh setiap muslim, sehingga para ulama kita menjadikan
cinta Ahlul Bait sebagai bagian dari pokok-pokok aqidah Ahlussunnah.
- Sebagai jawaban dan bantahan terhadap orang atau kelompok yang
mengskriditkan dan menuduh Ahlussunah tidak mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam).
Isu ini telah lama disebarkan dan dimamfaatkan oleh orang-orang Syi’ah
Rafidhah untuk mempengaruhi orang-orang awam Ahlussunnah agar menerima ajaran
Syi’ah rafidhah. Bahkan hal ini adalah salah isu santer yang mereka tuduhkan
setiap saat kepada Ahlussunnah. Maka melalui bahasan ini kita buktikan
kebohongan tuduhan mereka tersebut.
- Adanya kelompok yang menjadikan sikap kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai
alat untuk memecah belah kaum muslimin dan mengiring mereka kearah kesesatan dan
kekufuran. Bahkan mereka menjadi sikap cinta Ahlul bait sebagai alat untuk
menutup-nutupi berbagai kesesatan dan kebatilan yang mereka lakukan. Mereka
menisbahkan berbagai macam bentuk perkataan dan perbuatan bid’ah dan kufur
kepada Ahlul bait dengan penuh kedustaan dan kebohongan.
- Adanya sebagian orang yang menjadikan menisbahkan diri kepada Ahlul Bait
sebagai alat untuk membohongi manusia dan mengeruk keuntungan duniawi dibalik
itu. Dimasa sekarang banyak orang yang mengaku sebagi keturunan Ahlul bait demi
untuk mencari perhatian, kemulian dan kedudukan di tengah-tengah umat manusia.
- Untuk membersihkan Ahlul Bait dari berbagai tuduhan batil yang disandarkan
kepada mereka. Dan sesungguhnya Ahlul Bait berlepas diri dari berbagai
tuduhan-tuduhan tersebut.
( Pengertian Ahlul Bait
)
Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima sedekah dan zakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
«إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ».
“Sesungguhnya sedekah-sedekah ini adalah kotoran dosa manusia dan
sesumgguhnya ia tidak hala bagi Muhammad dan tidak pula bagi para keluarga
Muhammad”.[4] (HR. Muslim).
Mereka yang diharamkan atas mereka sedekah yang disebut Ahlul Bait (keluarga
Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) adalah para isteri dan keturunan Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta dan siapa saja yang beriman dari Banu Hasyim
dan Banu Muththalib. Sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah
dalam kitab-kitab mereka[5].
Seperti Imam Muslim memberi judul salah satu bab dalam kita shohih
beliau:
“باب تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَعَلَى آلِهِ وَهُمْ بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ دُونَ غَيْرِهِمْ”.
“Bab: Tentang haramnya zakat untuk Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan
para keluarganya yaitu Banu Hasyim dan Banu Muththalib, tidak (diharamkan)
selain mereka”.
Adapun tentang masuknya para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam
bagian Ahlul Bait adalah berdasarkan firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan firman Allah tersebut: “Hal ini
adalah konteks sekali secara tegas memasukkan para isteri Nabi Sallallahu Alaihi
Wa Sallam kedalam bagian Ahlul Bait di sini. Karena mereka adalah sebagai sebab
diturunkannya ayat tersebut. Sedang penyebab diturunkannya ayat adalah termasuk
kedalam kandungan makna ayat tersebut, menurut kesepakatan para ulama, bisa jadi
secara tunggal menurut salah satu pendapat, atau bersama yang lainnya menurut
pendapat yang kuat”[6].
Selanjutnya beliau berkata lagi: “Suatu hal yang tidak diragukan lagi
tentangnya -bagi orang yang memahami Al Qur’an- bahwa para isteri Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam firman Allah:
“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait!
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Karena hubungan konteks
pembicaraan adalah bersama mereka. Karena itu sesudahnya Allah berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ [الأحزاب/34]
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian (isteri- isteri
Nabi) dari ayat-ayat Allah dan hikmah”. Artinya hendaklah kalian
(isteri-isteri nabi) amalkan apa yang diturunkan Allah kepada RasulNya di rumah
kalian dari ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah”[7].
- Ahlul bait menurut pandangan sekte Syi’ah Rafidhah.
Adapun menurut orang Syi’ah Rafidhaah, Ahlul Bait tersebut hanya terbatas
pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu, kemudian mereka batasi lagi dari keturunan
Ali Radhiallahu ‘anhu keturnan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Padahal jika kita perhatikan nasab (garis keturunan) Nabi Sallallahu Alaihi
Wa Sallam dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang hal tersebut, amat banyak
sekali dari anak paman beliau selain dari anak Abu Thalib. demikian pula dari
anak Abu Thalib selain Ali Radhiallahu ‘anhu. Begitu pula dari anak Ali
Radhiallahu ‘anhu selain keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Seperti Hasan Radhiallahu ‘anhu, kakak dari Husain memiliki keturunan yang
begitu banyak dan ada yang dikenal keturunannya sampai sekarang.
Demikian pula anak Abu Thalib yang masuk Islam ada selain Ali Radhiallahu
‘anhu, seperti ‘Uqail dan Ja’far, yang keduanya juga memiliki keturunan yang
banyak.
Demikian pula Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam mempunyai pama-paman lain yang
masuk Islam dan juga mempunyai anak yang masuk Islam, seperti Hamzah, Harits dan
Abbas. Dan anak Abbas yaitu Abdullah bin Abbas beliau adalah salah seorang
sahabat yang sangat masyhur.
Bahkan diantara kesesatan Syi’ah lagi dalam hal ini adalah mengeluarkan para
isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dari bagian Ahlul Bait. Mereka
tidak mau menjadikan para ummahatul mukminiin sebagai bagian dari Ahlul Bait.
Bahkan sebaliknya mereka mencaci para ummahatul mukminiin, terutama sekali
wanita yang paling dicintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yaitu ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha. Dan yang lebih sesat lagi, mereka anggap
cacian-cacian tersebut sebagai salah satu sarana untuk beribadah kepada
Allah.
Pada hal Rasulullah nyata-nyata meneybutkan dalam sabdanya, bahwa isteri
beliau termasuk kedalam bagian Ahlul Bait. Sebagaimana terdapat dalam kisah
tuduhan buruk orang-orang munafik tehadap ‘Aisyah
radhiallahu
‘anha.
((من يعذرني من رجل بلغني أذاه في أهلي فوالله ما علمت على أهلي إلا
خيرا وقد ذكروا رجلا ما علمت عليه إلا خيرا وما كان يدخل على أهلي إلا معي)) [رواه
البخاري]
“Siapa yang siap membelaku dari seseorang yang menyakiti keluargaku. Demi
Allah aku tidak mengetahui tentang keluarga kecuali yang baik. Dan mereka juga
menyebut seseorang yang tidak aku ketahui tentangnya kecuali baik. Dan
ia tidak pernah masuk kerumahku kecuali bersamaku”.[8]
- Hukum berdusta atas nama Ahlul Bait.
Di sisi lain ada pula orang yang mengaku-ngaku dari keturnan Ahlul Bait demi
untuk mendapat kedudukan dan kemulian serta kesenangan duniawi, pada hal ia buka
keturunan Ahlul Bait.
Orang yang menisbahkan diri kepada keturunan orang lain pada hal ia tidak
dari ketutrunan mereka, maka hal ini adalah suatau kedustaan yang paling besar
dan ia akan dilaknat oleh Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
((إن من أعظم الفرى أن يدعي الرجل إلى غير أبيه)). [رواه البخاري]
“Sesungguhnya diantara kedustaan yang paling besar adalah seseorang yang
mengaku kepada bukan ayahnya”.[9]
Dalam riwayat lain:
عن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « وَمَنِ
ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ
مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً ». [رواه مسلم]
Dari Ali Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang
mengaku bukan kepada ayahnya atau menyandarkan diri kepada bukan kaumnya. Maka
atasya adalah laknat Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Allah
tidak akan menerima darinya pada hari kiamat amalan wajib dan tidak pula amalan
lainnya”.[10]
Satu hal yang perlu kita cermati di sini, ketika hadits ini diriwayatkan oleh
Ali Radhiallahu ‘anhu, hal ini di sampaikan Ali Radhiallahu ‘anhu di atas mimbar
Kufah sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ahlul
bait.
- Menjadikan selogan Ahlul Bait untuk melegalkan bid’ah dan
kesesatan.
Sebahagian orang ada yang menjadikan selogan Ahlul Bait sebagai otoritas
untuk merekayasa dan melegalkan ajaran-ajaran sesat di tengah-tengah umat Islam.
Seharusnya jika mereka benar-benar Ahlul Bait, tentulah mereka akan benar-benar
mengamalkan dan membela ajaran yang dibawa oleh kakek mereka yang mulia yaitu
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Karena hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilandasi
dengan iman dan taqwa. Oleh sebab itu tidak ada arti hubungan keturunan bagi Abu
Lahab dan Abu Thalib ketika keduanya enggan untuk mengikuti ajaran yang dibawa
oleh anak sudaranya yakni Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Sebagaimana pula halnya keluarga para nabi sebelum Nabi Muhammad Sallallahu
Alaihi Wa Sallam, seperti isteri dan anak nabi Nuh ‘Alaihis Salam, bapak nabi
Ibrahim ‘Alaihis Salam, dan isteri nabi Luth ‘Alaihis Salam. Sekalipun mereka
tersebut keluarga para nabi, namun hubungan keturunan tidak bisa menghalangi
azab Allah.
Demikian pula orang-orang yang mengaku keturunan Ahlul Bait, jika mereka
enggan untuk mengikuti syari’at Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam atau
membuat ajaran yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa
Sallam, maka dengan sendirinya mereka tersebut telah mengeluarkan diri mereka
dari bagian Ahlul Bait. Sekalipun pada kenyataannya mereka benar-benar keturunan
Ahlul Bait. Sebab hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa jika tidak
disertai dengan iman dan amal sholeh.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
« وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ ». [رواه
مسلم]
“Barangsiapa yang dilambatkan amalnya tidak akan bisa dipercepat oleh
hubungan keturunnya”.
Sebagaimana pula beliau katakan kepada paman dan anak perempuan beliau
sendiri:
« يَا بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ
شَيْئًا يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ
شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ
شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِى بِمَا شِئْتِ لاَ أُغْنِى
عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ». متفق عليه.
“
Wahai anak keturunan Abdul Muthalib! Aku tidak dapat membela kalian
sedikitpun dari Allah, wahai Abbas bin Abdul Muthalib aku tidak dapat membela
kalian engkau dari Allah, wahai Shofiyah bibik Rasulullah aku tidak dapat
membela engkau sedikitpun dari Allah, wahai Fatimah binti Rasulullah! Mintalah
apa yang engkau mau, aku tidak dapat membela engkau sedikitpun dari
Allah”.
( Kemulian Ahlul Bait Dalam Al Qur’an
)
Berikut ini kita sebutkan ayat yang menerangkan keutamaan Ahlul bait serta
kometar para ulama tafsir dalam menjelaskan ayat tersebut.
Isteri sesorang adalah merupakan bagian dari keluarganya. Sebagaimana ketika
Allah menceritakan tentang keluarga Nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam.
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [هود/73]
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan
Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai
ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Imam Qurtuby berkata[11]: “Ayat ini memberi penjelasan bahwa isteri seseorang
termasuk bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Hal ini menunjukkan bahwa
isteri para nabi adalah bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Maka ‘Aisyah
radhialllahu ‘anha dan lainnya adalah termasuk dari jumlah Ahlul bait
Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, yakni termasuk diantara orang yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Lalu ketika menafsirka ayat tersebut di atas Imam Qurtuby berkata[12]: ”Allah
telah memuliakan isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dengan
menjadikan mereka sebagai ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman). Yaitu
dalam hal tentang wajibnya memuliakan, berbuat baik, menghormati dan diharamkan
menikahinya atas kaum laki-laki. Hal yang membedakan mereka dari ibu kandung
sndiri adalah mereka diwajibkan untuk berhijab dari (kaum laki-laki yang bukan
mharam)”.
Demikian pula syeikh Syanqiithy memjelaskan ayat yang sama dan membantah
pendapat yang mengeluarkan isteri nabi dari bagian Ahlull bait[13]:
”Sesungguhnya Qorinah (bukti) dari maksud konteks ayat secara tegas menyatakan
bahwa para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam ayat
tersebut. Karena diawal ayat Allah berfirman:
{قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ}
”Katakanalah kepada Iisteri-isterimu jka mereka menginginkan ….”
Lalu setelah itu Allah berfirman:
{إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ}
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait”
Lalu Allah lanjutkan dengan firman-Nya:
{وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ}
”Dan ingatlah (isteri-isteri nabi) apa yang dibacakan di
rumahmu”
Maksud syeikh Syanqiithy adalah bahwa Ayat–ayat di atas semuanya bercerita
tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan ayat yang
menyebutkan tentang ahlul bait berada diantara ayat-ayat tersebut, maka hal ini
menunjukkan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan Ahlul bait adalah mereka
isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Kemudian beliau kemukakan dalil lain bahwa isteri seseorang adalah termasuk
yang disebut keluarganya (Ahlu Baitihi). Kata beliau: “Hal yang sama, dari
prihal masuknya para isteri dalam sebutan Ahlul Bait adalah firman Allah tentang
isteri nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ}.
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan
Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai
ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Adapun dalil yang menunjukkan tentang masuknya selain mereka (isteri-isteri)
kedalam ayat tersebut adalah berdasarkan hadits dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa
Sallam, bahwa ia bersabda tentang Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mereka adalah
bagian dari ahlul bait. Dan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam berdo’a kepada
Allah untuk mereka agar dihilangan kotoran dosa dari mereka dan dibersihkan
dengan sebersih-bersihnya. Hal tersebut telah diriwayatkan oleh sekolompok
sahabat dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diantara mereka adalah Ummul
mukminin Ummu Salamah, Abu Sa’id, Anas, Watsilah bin Asqo’ dan Ummul mukminin
‘Aisyah serta yang lainnya”[14].
Jika ada yang berkata: sesungguhnya dhomir (kata ganti) dalam ayat:
{لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ} dan {يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً} mennggunakan kata
ganti untuk laki-laki! Kalau seandainya yang dimaksud isteri-isteri Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam tentu akan di gunakan kata ganti untuk permpuan
ليذهب عنكن ويطهركن!
Maka jawabanya dari dua sisi:
Pertama: Seperti yang telah kita jelaskan bahwa ayat tersebut mencakup mereka
(isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan lain mereka yaitu; Ali,
Hasan, Husain dan Fathimah. Seluruh ulama pakar bahasa terlah bersepakat bila
digabung antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah ungkapan maka digunakan
kata ganti laki-laki.
Kedua: Diantara bentuk uslub (tata) bahasa Arab -yang dengannya diturunkan
Al Qur’an- bahwa isteri seseorang disebut Ahlu (keluarga), dan kalimat tersebut
juga dipergunakan untuk penyebutan plural (jama’) laki-laki. Alasan digunakan
kata ganti laki-laki dalam ayat tersebur agar sesuai dengan lafaz Ahlu.
(Sedangakan yang dimaksud Ahlu di sini ialah iterinya). Seperti firman Allah
tentang Musa ‘Alaihis Salam ketika ia berkata isterinya:
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا
سَآَتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ
أَوْ آَتِيكُمْ بِشِهَابٍ قَبَسٍ
لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ
[النمل/7]
“Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: “Sesungguhnya aku
melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku
membawa kepadamu suluh api
supaya kamu dapat
berdiang.”
Pada ayat yang lain:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (9) إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي
آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي
آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ [طه/9، 10]
”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu
berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku
melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu”.
Lawan bicara Nabi Musa ‘Alaihis Salam di sini adalah isterinya, sebagaimana
yang disebutkan oleh para ulama”.
Melalui apa yang dijelaskan oleh syeikh Syanqiithy di atas dapat kita
simpulkan beberapa hal:
- Bahwa yang dimaksud tentang Ahlul Bait dalam surat Al Ahzaab adalah para
isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam karena ayat tersebut turun di
rumah mereka. Demikian pula dengan melihat konteks ayat yang sebalum dan
sesudahnya, jika kita cermati dengan seksama semuanya berbicara tentang
isteri-isteri Rsulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Mulai dari ayat no 28 dari
surat Al Ahzaab sampai pada ayat no 34 pada surat yang sama, seluruh berbicara
tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Sedangkan ayat yang
mengenai Ahlul Bait berada diperantaraan ayat-ayat tersebut, yaitu pada ayat no
33.
- Masuknya selain isteri-isteri nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam
kandungan makna ayat tersebut tidak berdasarkan ayat, karena ayat turun di rumah
isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi berdasarkan hadits
yang menyatakan bahwa mereka termasuk kedalam makna ayat tersebut. Seprti hadits
berikut ini[15]:
قَالَتْ عَائِشَةُ خَرَجَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةً
وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ
فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ
فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِىٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ (إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا)
‘Aisyah berkata: “Pada suatu pagi Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam keluar
berselimu kain yang disulam berwarna hitam. Lalu datang Hasan bin Ali maka ia
selimuti, kemudian datang Husain maka ia selimuti bersama, kemudian datang
Fathimah maka ia selimuti pula, kemudian datang Ali maka ia selimuti juga.
Kemudian beliau membaca firman Allah:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
- Bahwa para sahabat tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ali Radhiallahu
‘anhu dan keluarganya. Jika kita cermati riwayat di atas adalah dari ‘Aisyah.
Hal ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah tidak menyembunikan keutamaan Ali dan
keluarganya apa lagi sampai membenci mereka. Demikian pula para ulama
Ahlussunnah tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ahlul bait, sebagaiman yang
dituduhkan oleh kaum syi’ah Rafidhah. Buktinya kitab-kitab Ahlussunnah penuh
dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul bait. Akan
tetapi memang tidak memuat riwayat-riwayat palsu yang sampai pada tingkat
mengkultuskan Ahlul bait.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah tentang keutamaan dan kemulian para isteri
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam[16]: “Diantara pokoko-pokok aqidah
Ahlussunnah adalah mereka beroyalitas kepada isteri-isteri Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wa Sallam, Ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman)…. ».
Sebagaimana Alah nyatakan dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ
أُمَّهَاتُهُمْ [الأحزاب/6]
«Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka».
( Kemulian Ahlul Bait Dalam Sunnah
)
Berikut ini kita sebutkan beberapa hadits yang menunjukkan tentang kewajiban
memuliakan Ahlul bait:
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bekhutbah di hadapan para
sahabat sekembalinya beliau dari melaksanakan haji Wada’ di suatu temapat antara
Makkah dan Madinah di sebur Ghadiir Khum:
« أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ
ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا
بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ
وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ
بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى
أَهْلِ بَيْتِى ».
“Berikutnya; Ketahuilah wahai para manusia! Sesungguhnya aku adalah
sorang manusia, boleh jadi sudah dekat kedatangan utusan Rabbku, lalu aku
menjawabnya. Dan aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara; pertama;
Kitabullah (Al Qur’an). Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah
dan berpegang teguhlah dengannya. (Berkata rawi hadits): maka ia
mendorong dan menganjurkan untuk berpegang teguh dengannya. Kemudia ia (Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam) berkata: Dan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada
Allah tentang (hak-hak) keluargaku. Beliau mengulangnya tiga kali”
[17]
.
Dalam hadits ini Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam memberitahukan kepada para
sahabat tentang ajal beliau yang sudah dekat. Hal Ini menunjukkan akan
pentingnya nasehat tersebut untuk senantiasa mereka jaga. Nasehat pertama
berpegang teguh dengan Al Qur’an. Nasehat kedua menjaga hak-hak keluarga beliau.
Yang dimaksud dengan hak-hak keluarga beliau adalah memuliakan dan menghormati
mereka. Dan mengikuti nasehat-nasehat mereka selama sesuai dengan ajaran yang
beliau tinggalkan. Adapun jika ada pendapat mereka yang tidak sesuai dengan
ajaran yang beliau tinggalkan, maka kita tidak boleh taklit kepada mereka.
Karena hadits tersebut tidak ada perintah untuk wajib berpegang teguh dengan
segala perkataan mereka. Sebagaimana yang dipahami oleh sebahagian orang.
Berkata Imam Qurtuby: ”Wasiat ini dan ketegas ini adalah menunjukkan tentang
wajibnya menghormati keluarga beliau, berbuat baik, memuliakan dan mencintai
mereka. Kewajiban yang sangat ditekankan, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk
tidak melaksanakannya.” [18].
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ
وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ ».
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak keturunan Ismail.
Dan memilih Quraisy dari kalangan suku Kinaanah. Dan memilih Bani Hasyim dari
kalangan bangsa Quraisy. Dan memilih aku dari kalang Bani
Hasyim”[19].
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan Bani Hasyim. Karena
mereka memiliki sifat-sifat baik dan terpuji yang lebih menonjol dari sukuk-suku
lain, maka Allah memilih Rasul yang paling mulia dari kalangan suku mereka.
((أنا محمَّدُ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ إنَّ اللَّهَ
تعالى خَلَقَ الخَلْقَ فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ ثمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ
فجَعَلَني في خيْرِهِمْ فِرْقَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ قَبائِلَ فَجَعَلَنِي في
خيْرِهِمْ قَبِيلَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتاً فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ بَيْتاً
فأنا خَيْرُكُمْ بَيْتاً وأنا خَيْرُكُمْ نَفْساً)).
“Saya adalah anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah-lah
yang menciptakan makhluk, lalu Ia menjadikan aku dalam bagian mereka yang
terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka kepada dua golongan, maka Allah
menjadikan aku pada golongan yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka
berbangsa-bangsa, maka Allah menjadikan aku pada bangsa yang terbaik. Lalu Allah
menjadikan mereka bersuku-suku, maka Allah menjadikan pada suku yang terbaik.
Aku adalah yang terbaik diantara dari segi suku dan
jiwa”[20].
Dalam hadits ini juga terdapat kemulian Ahlul bait karena Allah telah memilih
Nabi yang paling mulia dari suku mereka. Akan tetapi kemulian ini secara umum
tidak secara person (setiap pribadi) mereka. Karena dari kalangan luar Ahlull
bait secara person ada yang lebih mulia dari sebagian person Ahlul bait. Seperti
jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh anaknya sendiri Muhammad Ibnul
Hanafiah:
((عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِى أَىُّ
النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ Sallallahu Alaihi Wa Sallam ؟ قَالَ:
أَبُو بَكْرٍ. قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ. قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ
أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ
رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ)).
“Dari Muhammad Ibnu Hanafiyah, ia berkata: aku bertanya pada ayahku,
siapa manusia yang paling baik setelah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam?.
Jawabnya: Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Kemudia aku tanya lagi, kemudian siapa?
Jawabnya: Umar Radhiallahu ‘anhu. Kemudian aku cemas bila ia katakan Utsman,
maka aku katakan: kemudian engkau ya ayahku? Ia menjawab: aku ini hanyalah salah
seorang dari kaum muslimin”[21].
( Ungkapan Ulama Ahlussunnah Tentang Kemulian Ahlul
Bait )
Jika kita membaca kitab-kitab para ulama niscaya akan kita dapati begitu
banyak ungkapan mereka tentang wajibnya memuliakan dan menghormati Ahlull bait.
Berikut ini kita sebutkan ungkapan para ulama Ahlussunnah, terutama yang sering
mendapat tuduhan bahwa mereka tidak memuliakan Ahlul bait. Agar terbukti
kebohongan orang-orang yang menuduh mereka tidak mencintai Ahlul bait.
- Perkataan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang dari khalifah Bani
Umayyah.
Berkata Umar bin Abdul Aziz kepada Abdullah bin Hasan bin Husain (cucu dari
Husain bin Ali Radhiallahu ‘anhu): “Jika engkau ada kebutuhan maka tulislah
kepada! Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila Ia melihat engkau (berdiri) di
depan pintu rumahku. Tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih aku cintai
daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku
sendiri”
[22].
Pada suatu kali yang lain ia berkata pula kepada Fathimah binti Ali
Radhiallahu ‘anhu (anak perempuan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu): “Wahai
anak perempuan Ali! Demi Allah tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih
aku cintai daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku
sendiri”
[23].
Sengaja kita sebutkan di sini perkataan Umar bin Abdul Aziz untuk membantah
prasangka buruk yang senantiasa dituduhkan oleh sekolompok orang terhadap
keluarga Bani Umaiyyah, bahwa mereka memusuhi atau membenci Ahlul bait. Melalui
ungkapan Umar bin Abdul Aziz di atas amat jelas bagaimana bersarnya kemulian
Ahlul bait dalam pandangannya. Dan ini sebagai bukti bahwa tidak ada permusuhan
antara bani Umayyah dengan Ahlul bait. Yang ada hanyalah kecintaan dan
penghargaan yang tinggi terhadap Ahlul bait. Di sini terbuktilah kebohongan
tuduhan kelompok yang senantiasa menyebarkan prasangka buruk tersebut.
- Perkataan Imam Al Ajurry.
Berkata Imam Al Ajurry: “Diwajibkan atas setiap orang mukmin laki-laki dan
orang mukmin perempuan mencintai keluarga (Ahlul bait) Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wa Sallam. Yaitu: Bani Hasyim; Ali bin Abi Thalib beserta anak dan
cucu-cucunya, Fathimah beserta anak dan cucu-cucunya, Hasan dan Husain beserta
anak dan cucu-cucunya, Ja’far Ath Thayyaar beserta anak dan cucu-cucunya, Hamzah
beserta anak dan cucu-cucunya, Abbas beserta anak dan cucu-cucunya. Mereka
itulah keluarga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diwajibkan atas
orang-orang muslim mencintai dan memuliakan
mereka”
[24].
Dari ungkapan Imam Al Jurri di atas menjadi jelas bagi kita bahwa Ahlul bait
tersebut tidak hanya keturunan Ali saja atau keturnan husain saja, sebagaimana
asumsi orang-orang Syi’ah Rofidhah. Akan tetapi mencakup siapa saja yang beriman
dari paman-paman Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta anak dan cucu-cucu
mereka.
- Perkataan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah: “Diantara pkok-pokok aqidah Ahlussunnah
…bahwa sesungguhnya mereka mencintai para keluarga (ahlul bait) Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan berolayalitas pada mereka serta menjaga benar
wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam ketika ia bersabda pada hari
Ghadiir KKhum
[25]:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
“
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak)
kelurgaku“[26].
Beliau juga berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa bagi keluarga nabi Muhammad
Sallallahu Alaihi Wa Sallam memiliki hak di atas umat ini yang tidak diesrtai
oleh selain mereka. Mereka berhak untuk lebih dicintai dan dimuliakan, yang
mereka tidak disertai oleh suku-suku Quraisy yang
lain
[27]“.
Dari ungkapan beliau ini terbantah pulalah tuduhan bohong kepada beliau,
bahwa beliau tidak mencitai keluarga Rasul Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Seungguhnya ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ungkapan yang di atas
sangat banyak sekali dalam kitab-kitab beliau.
- Perkataan syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Berkata syiekh Muhammad bin Abdul Wahab: “Saya mencintai para sahabat Rasul
Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Begitu pula para keluarga beliau. Saya memuji
mereka. Dan mendo’akan semoga Allah meridhai mereka. Saya menutup mulut dari
membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka”[28].
Dari sini juga terbukti kebohongan yang dituduhkan kepada syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab bahwa beliau tidak mencintai Ahlul bait. Ungkapan yang semakna juga
sering terulang dalam kitab-kitab beliau.
Bahkan beliau menamakan anak-anak beliau nama Ahlul bait sebagai atas
kecintaan beliau pada Ahlul bait. Diantara anak-anak beliau ada yang benama;
Ali, Hasan ,Husain dan Fathimah[29].
( Kelompok Yang Menyimpang Dalam Mencintai Ahlul
Bait )
Banyak orang yang beranggapan bahwa mazhab para Ahlul bait adalah aliran
syi’ah Rafidhah yang tercela. Sehingga isu tersebut menyebabkan sebagahagian
orang membenci Ahlull BAit. Ini adalah persepsi yang salah dan keliru. Anggapan
tersebut merupakan penghinaan dan pencemaran terhadap nama baik Ahlul bait,
seakan-akan mereka adalah para penyeru kepada bid’ah dan khurafat. Hal tersebut
sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena para Ahlul
bait tersebar di berbagai belahan pelosok dunia sesuai dengan menyebarnya agama
Islam keberbagai penjuru dunia. Dan mereka menganut mazhab yang tersebar di
tengah-tengah masyarakat di mana tempat mereka tinggal.
Berkata imam Asy Syaukany: “Sesungguhnya mereka (para Ahlul bait) telah
terpencar-pencar di berbagai tempat. Mereka tinggal diberbagai negeri yang
berjauhan. Dan masing-masing dari mereka mengukuti mazhab negeri dimana mereka
tinggal”[30].
Jika kita mencoba mengenal biografi para ulama Ahlussunnah, niscaya akan kita
dapati tidak sedikit diantara mereka adalah dari kalangan Ahlul bait. Merka
adalah para pejuang agama dan memerangi berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan
serta para pelakunya. Demikian pula jika kita menganal pusat-pusat kajian
Ahlussunnah yang menyebarkan ilmu di Yaman, niscaya akan kita temui di sana para
masyikh dan da’i yang menyebarkan ilmu adalah dari kalangan Ahlul bait. Yang
mana dengan sebab keberadaan mereka, banyak sekali manusia yang mendapat hidayah
kepada jalan yang lurus.
Para Ahlul bait tidak pernah memiliki mazhab tertentu. Seperti yang tuturkan
oleh sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu keitka ia menjawab pertanyaan
salah seorang sahabat yaitu Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu: Apakah kalian
memiliki sesuatu yang tidak terdapat dalam Al Qur’an? Pada kali yang lain ia
bertanya: Apakah kalian memiliki sesuatu yang tidak ada pada manusia lain? Jawab
Ali Radhiallahu ‘anhu:
((والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في القرآن -إلا فهماً
يعطى رجل في كتابه- وما في الصحيفة. قلت: وما في الصحيفة؟ قال: العقل وفكاك الأسير
وأن لا يقتل مسلم بكافر)).
“Demi Zat yang menumbuhkan biji-bijian, dan yang menciptakan jiwa. Tidak ada
di sisi kecuali apa yang terdapat dalam Al Qur’an, yaitu kecuali pemahaman yang
diberikan Allah kepada seseorang tentang kitabNya. Dan apa yang ada dalam
lembaran ini. Abu Juhaifah bertanya: apa yang ada dalam lembaran tersebut? Jawab
Ali Radhiallahu ‘anhu: Hukum diat, hukum tentang pembebasan tawana, dan tidak
boleh dibunu seorang lantaran membunuh seorang kafir”[31].
Dalam jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu di atas terbukti segala kebohongan
tentang adanya wasiat untuk Ali Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wa Sallam untuk menjadi khalifah setelahnya. Kemungkinan pertanyaan
tersebut diajukan oleh Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu karena adanya desas-desus
tentang wasit tersebut, sehingga Abu Juhaifah ingin menanyakan secarang lasung
pada Ali Radhiallahu ‘anhu.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah menganggap diri mereka orang yang paling
mencintai Ahlul bait, dan selain mereka menzalimi Ahlul bait. Pada hal
sebenarnya orang-orang Rafidhah-lah yang telah menzalimi Ahlul bait kezaliman
yang tiada tara. Mereka-lah yang membuat Ahlul bait terhina dan menipu menreka
serta ditolaknya riwayat-riwayat Ahlul bait disebabkan karena orang-orang
Rafidhah sangat terkenal dalam berbohong atas nama Ahlul bait.
Ditambah lagi orang-orang Rafidhah membatasi cinta mereka pada sebahagian
kecil saja dari Ahlul bait. Sedangkan kebanyakan dari oarang-orang shaleh Ahlul
bait mereka benci. Bahkan jumlah yang dibenci oleh orang-orang Rafidhah merka
jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah yang pura-pura mereka cintai. Seperti
mereka membanci keluarga Abbas beserta anak keturunnya.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah:”Manusia yang paling jauh dari
melaksanakan wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap keluarga
beliau adalah orang-orang Rafidhah. Sesungguhnya mereka memusuhi Abbas beserta
ana keturunannya. Bahkan mereka memusuhi sebahagian besar Ahlull bait dan
membantu orang-orang kafir untuk menghabisi mereka”[32]. Sebagaimana mereka
membantu orang-orang mongolia untuk menghancurkan kekuasaan Abbasiyah di bagdad
tahun 656H, dengan tokoh sentralnya Ibnu Al Qomy dan Nasiruddin Tusy.
- Ada dua bentuk kesesatan Syi’ah Rafidhah dalam
mencintai Ahlul Bait:
Pertama: Membatasi Ahlul Bait pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu kemudia
pada keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu semata.
Kedua: Ghuluw (Eksrim) dalam mencintai Ahlul Bait.
Berikut ini berapa contoh tentang eksrim Syi’ah Rafidhah terhadap imam-imam
mereka, terutama imam yang dua belas dari Ahlul Bait. Kita ambil contoh dalam
kitab Ushul Kafi karangan Al Kulaini[33]. Kedudukan kitab ini dikalangan
orang-orang Syi’ah Rafidhah adalah bagaikan shahih Bukhari dikalangan
Ahlussunnahn.
Berikut ini cuplikan perkataan Al Kulaini dalam kitabnya Ushul
Kafi:
باب أن الأئمة عليهم السلام عندهم جميع الكتب التي نزلت من عند الله عز
وجلّ وأنهم يعرفونها على اختلاف ألسنتها.
“Bab: Bawha sesungguhnya para imam
‘alaihimussalam di sis mereka semua kitab-kitab suci yang diturun Allah ‘azza
wajalla. Dan sesungguhnya mereka mengetahui semuanya sekalipun berbeda-beda
bahasanya”.
Ini adalah kebohongan yang nyata dan bertentangan ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Buat apa kitab-kitab tersebut mereka
miliki karena hukum-hukumnya sudah mansukh (tidak berlaku) setelah Al Qu’an
diturunkan. Bahkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam marah ketika melihat
Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu memgang lembaran Taurat. Anggapan bahwa para
imam mereka mengetahui segala bahasa kitab-kitab tersebut ini kebohongan yang
nyata. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sendiri tidak mengetahui bahasa
bangsa Yahudi, oleh sebab itu beliau menyuruh sahabat Zaid bin Tsabit untuk
memprlajarinya. Apakah para imam tersebut lebih tinggi derajatnya dari para
nabi? Karena para nabi tidak pernah diturunkan kepada mereka semua kitab yang
diturunkan Allah!
باب أنه لم يجمع القرآن كله إلا الأئمة عليهم السلام وأنهم يعلمون علمه
كله.
“Bab: Sesungguhnya tidak ada yang
mengumpulkan Al Qur’an secara sempurna kecuali para imam ‘alaihimussalam. Dan
sesungguhnya mereka mengetahui ilmunya secara keseluruhan”.
Ini adalah asumsi yang batil, karena begitu banyak sahabat yang hafal Al
Qur’an. Kemudian pernyataan bahwa para imam menguasai segala ilmu yang ada
dalam Al Qur’an ini adalah sesuatu yang berlebihan. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa
tafsir itu ada empat tingkatan; tafsir yang diketahui oleh setiap orang, tafsir
yang diketuhi oleh para pakar bahasa Arab, tafsir yang diketahui oleh para ulama
dan tafsir yang tidak mengetahuinya kecuali Allah.
باب ما عند الأئمة من آيات الأنبياء عليهم السلام أجمعين.
“Bab: Apa yang dimiliki oleh para
imam dari mu’jizat-mu’jizat para nabi ‘alaihimussalam ajma’iin”.
Ini adalah salah bentuk dari bentuk eksrim mereka dalam menilai para imam
mereka, sampai-sampai menyatakan bahwa mereka memiliki mu’jizat para nabi.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون جميع العلوم التي خرجت إلى الملائكة
والأنبياء والرسل عليهم السلام.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam
‘alaihimussalam mengetahui seluruh ilmu yang diberikan kepada para malaikat,
kepada para nabi dan rasul ‘alaihimussalam”.
Ini sangat jelas sekali kebatilannya, karena Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa
Sallam sendiri tidak pernah mengaku memiliki semua ilmu yang dimiliki malaikat
dan para rasul lainnya.
Sebagaimana firman Allah:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ
الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى
إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku”.
باب أن الأئمة عليهم السلام إذا شاؤوا أن يعلموا علّموا.
“Bab: Bhwa sesungguhnya para imam
apabila ingin tahu, mereka akan diberitahu”.
Menurut mereka para imam seperti para nabi, mereka mendapat wahyu langsung
dari Allah tentang hal yang ingin mereka ketahui. Ayat yang kita sebutkan di
atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan pernyataan ini.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون متى يموتون وأنهم لا يموتون إلا
باختيار منهم.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam
‘alaihimussalam mengetahui kapan mereka mati. Dan sesungguhnya mereka tidak akan
mati kecuali atas pilihan mereka sendiri”.
Ini adalah kebohongan dan kesyirikan yang nyata, tidak ada seorangpun yang
dapat mengetahui kapan ia mati, sekalipun Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan
kematian itu mutlak berada ditangan Allah bukan atas pilihan manusia. Allah
berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [لقمان/34]
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia
akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.
Bila ajal seseorang telah datang tidak ada seorang yang dapat menolaknya
sekalipun ia tidak menghendaki kematian tersebut, bahkan tidak akan bisa ditunda
walau sedetik saja. Allah berfirman:
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا
يَسْتَقْدِمُونَ [الأعراف/34]
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون علم ما كان وما لم يكن وأنه لا يخفى
عليهم الشيء صلوات الله عليهم
“Bahwa sesungguhnya para imam
‘alaihimussalam mengetahui ilmu apa yang telah terjadi dan ilmu yang belum
terjadi. Dan sesungguhnya tidak sesuatu-pun yang tersembunyi atas mereka
salawatullahi ‘alaihin”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata yaitu meyakini para imam dapat mengetahui
hal-hal yang sudah berlalu dan hal-hal yang akan terjadi. Allah berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا
اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النمل/65]
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan”.
Bahkan Allah memerintahkan kepa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk
menyatakan bahwa ia tidak mengetahui yang ghaib:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ
الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى
إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku”.
باب في أن الأئمة عليهم السلام أنهم إذا ظهر أمرهم حكموا بحكم داود وآل
داود ولا يسألون البينة عليهم السلام.
“Bahwa sesungguhnya para imam
‘alaihimussalam, sesungguhnya apabila merka berkuasa, mereka menjalankan hukum
nabi Daud dan kularga Daud. Dan mereka tidak membutuhkan bukti (dalam memutuskan
perkara) ‘alaihimussalam”.
Ini menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan oleh para ulama, bahwa Syi’ah
Rafidhah adalah rekayasa orang-orang Yahudi. Tujuan kekuasan para imam mereka
menegakkan hukum Daud dan keluarga Daud. Sebagaimana hal yang sama direncanakan
oleh orang-orang Yahudi di Palestina, yaitu mengembalikan kerajaan Daud.
Hal ini jelas bertentangan dengan perintah Allah kepada Rasul-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
إِلَيْكَ [المائدة/49]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.
Dalam ayat lain Allah katakan:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ [الجاثية/18]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
باب أنه ليس شيء من الحق في يد الناس إلا ما خرج من عند الأئمة عليهم
السلام وأن كلّ شيء لم يخرج من عندهم فهو باطل.
“Bab: Sesungguhnya tidak satu-pun
dari kebenaran yang ada pada manusia kecuali apa yang keluar dari para imam
‘alaihimussalam. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak keluar dari sisi
mereka maka itu adalah batil”.
Ini adalah salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap para imam, bahwa
para imam mereka adalah maksum (terbebas) dari kesalahan, dimana semua kebenaran
yang ada pada manusia berasal dari mereka, bila tidak datang dari mereka maka
itu adalah batil.
Menurut Al Qur’an kebenaran mutlak itu hanya dari Allah, sebagaimana firman
Allah:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
[البقرة/147]
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu”.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ [الكهف/29]
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir.”
باب أن الأرض كلّها للإمام عليه السلام.
“Bab: “bahwa sesungguhnya bumi
seluruhnya dalah milik imam ‘alaihissalam”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata ketika meyakini seluruh bumi adalah milik
imam. Bagaimana dengan firman Allah:
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ [الأعراف/128]
“Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa
yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.”
Sesungguhnya setiap muslim pasti mengetahui kabtilan dan kebohongan terhadap
apa yang disebutkan dalam kitab Ushul Kafi karangan Kulainy tersebut. Oleh sebab
itu tidak perlu kita jawab dengan panjang lebar, karena setiap muslim sudah
mengetahui kebatilannya.
[1] HR. Bukhari no (15) dan Muslim no (178).
[2] HR. Muslim no (6378).
[3] Lihat “Syu’abul Iman”: 2/228.
[4] HR. Muslim no (2531).
[5] Lihat “Minhajjussunnah”: 7/304, “Fathul Baary”: 7/78 dan
“Fadhlu Ahlil Bait” karya Syeikh Abdul Muhsin, hal: 7.
[6] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/410.
[7] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/415.
[8] HR. Bukhari no (2494).
[9] HR. Bukhari no (3318).
[10] HR. Muslim no (3393).
[11] Lihat “Tafsir Qurtuby: 9/71.
[12] Lihat “Tafsir Qurtuby: 14/122.
[13] Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[14] Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[15] HR. Muslim (6414).
[16] Lihat “Majmu’ Fatawa”: 1/26.
[17] HR. Muslim no (6378).
[18] Lihat “Al Mufhim”: 6/303-304.
[19] HR. Muslim no (6077).
[20] HR. Tirmizy no (3632), menurutnya hadits ini adalah hadits
hasan.
[21] HR. Bukhari no (3468) dan Abu Daud no (4631).
[22] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”:
5/333-334.
[23] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”:
5/387-388.
[24] Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[25] Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[26] Lihat “Al Waasithiyah”: 26.
[27] Lihat “Minhaajus Sunnah”: 4/363.
[28] lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab
“majmu’ muallafaat syeikh Muhammad bin Abdul Wahab jilid 3.
[29] Lihat kitab “Ulama Najed”: 1/155.
[30] Lihat “Nailul Authaar”: 1/224.
[31] HR. Bukhari no (6507).
[32] Lihta “majmu’ Fatawa”: 4/419.
[33] Cetakan yang kami miliki, cetakan: 1 Th 1426H / 2005M,
dicetak oleh muassasah Al A’lamy lilmathbu’aat, Bairut-Libanon.