Pengertian Musibah
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Kata musibah (dalam bahasa Arab) berasal dari kata yang bermakna lemparan dengan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka.”
Ar-Raghib berkata, “Kata أَصَابَ digunakan pada perihal kebaikan dan keburukan yang menimpa.”
Allah l berfirman:
“Jika kamu ditimpa oleh suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana ….” (at-Taubah: 50)
Ada yang berpendapat, kata musibah (dalam bahasa Arab) jika digunakan pada perihal kebaikan, berasal dari kata الصَّوْبُ yang artinya hujan. Maksudnya, hujan yang turun sebatas keperluan, tidak membahayakan dan merugikan. Jika digunakan pada perihal keburukan, ia berasal dari kata إِصَابَةُ السَّهْمِ artinya bidikan atau sasaran anak panah.
Al-Kirmani berkata, “Kata musibah jika ditinjau dari segi bahasa, bermakna apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Jika ditinjau dari segi istilah, bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi. Makna inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini.” (Fathul Bari, dalam Kitabul Mardha)
Ahli bahasa berkata, “Pada kata musibah dikatakan: مَصُوبَةٌ – مُصَابَةٌ – مُصِيبَةٌ Hakikatnya adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia.”
Al-Qurthubi t menerangkan, ”Musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, menyusahkan orang mukmin, dan menimpa dirinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Kata musibah (dalam bahasa Arab) berasal dari kata yang bermakna lemparan dengan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka.”
Ar-Raghib berkata, “Kata أَصَابَ digunakan pada perihal kebaikan dan keburukan yang menimpa.”
Allah l berfirman:
“Jika kamu ditimpa oleh suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana ….” (at-Taubah: 50)
Ada yang berpendapat, kata musibah (dalam bahasa Arab) jika digunakan pada perihal kebaikan, berasal dari kata الصَّوْبُ yang artinya hujan. Maksudnya, hujan yang turun sebatas keperluan, tidak membahayakan dan merugikan. Jika digunakan pada perihal keburukan, ia berasal dari kata إِصَابَةُ السَّهْمِ artinya bidikan atau sasaran anak panah.
Al-Kirmani berkata, “Kata musibah jika ditinjau dari segi bahasa, bermakna apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Jika ditinjau dari segi istilah, bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi. Makna inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini.” (Fathul Bari, dalam Kitabul Mardha)
Ahli bahasa berkata, “Pada kata musibah dikatakan: مَصُوبَةٌ – مُصَابَةٌ – مُصِيبَةٌ Hakikatnya adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia.”
Al-Qurthubi t menerangkan, ”Musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, menyusahkan orang mukmin, dan menimpa dirinya.”
Perbedaan Musibah dan Cobaan
Musibah adalah suatu hal yang menyebabkan manusia kehilangan nikmat-nikmat Allah l yang telah Dia l anugerahkan kepadanya, berupa anak, orang tua, saudara, harta. Sakit yang menimpanya atau hal yang serupa dengan itu disebut musibah.
Adapun cobaan, lebih umum daripada musibah. Cobaan terkadang berbentuk kenikmatan. Hal seperti ini, bisa jadi lebih sulit dibandingkan dengan cobaan dalam bentuk musibah karena seringnya menyebabkan seseorang lupa akan akhirat, lupa kepada Rabbnya. Kebanyakan manusia hatinya tetap baik jika diuji dengan kefakiran, sakit, musibah, tetapi justru rusak jika diuji dengan kenikmatan. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-‘Alaq: 6—7) (Syarh Kitab at-Tauhid, oleh asy-Syaikh al-Ghunaiman)
Musibah adalah suatu hal yang menyebabkan manusia kehilangan nikmat-nikmat Allah l yang telah Dia l anugerahkan kepadanya, berupa anak, orang tua, saudara, harta. Sakit yang menimpanya atau hal yang serupa dengan itu disebut musibah.
Adapun cobaan, lebih umum daripada musibah. Cobaan terkadang berbentuk kenikmatan. Hal seperti ini, bisa jadi lebih sulit dibandingkan dengan cobaan dalam bentuk musibah karena seringnya menyebabkan seseorang lupa akan akhirat, lupa kepada Rabbnya. Kebanyakan manusia hatinya tetap baik jika diuji dengan kefakiran, sakit, musibah, tetapi justru rusak jika diuji dengan kenikmatan. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-‘Alaq: 6—7) (Syarh Kitab at-Tauhid, oleh asy-Syaikh al-Ghunaiman)
Definisi Azab
Adapun pengertian azab adalah siksaan dan hukuman. Dikatakan dengan kalimat عَذَّبْتُهُ تَعْذِيبًا وَعَذَابًا, yakni “Aku menyiksanya.”
Sekilas, banyak orang mengira bahwa azab merupakan istilah yang digunakan hanya untuk azab yang besar, berat, dan mengerikan. Hal ini karena penyebutan azab dalam Al-Qur’an seringnya berupa azab yang keras, pedih, hina, besar, berat, kekal, dan sebagainya. Semua itu sebagai bentuk ancaman bagi mereka yang terjerumus dalam syahwat, syubhat, kesesatan, dan pelanggaran.
Namun, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah l mengancam orang-orang yang menentang dan membuat kerusakan dengan suatu azab selain azab yang besar. Dengan harapan, mereka mau kembali dari kesesatan kepada ketaatan dan tersadarkan dari perbuatannya. Allah l menjelaskan bahwa bencana dan malapetaka yang menimpa orang-orang yang menentang di dunia ini itu hanya azab yang dekat (kecil).
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (as-Sajdah: 21)
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai “azab yang dekat”.
1. Maknanya adalah musibah dunia, penyakit, bencana yang menimpa jiwa dan harta, yang Allah l menjadikannya sebagai ujian bagi hamba-Nya agar mereka bertaubat.
Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abul Aliyah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah, Athiyah, Mujahid, dan Qatadah, semoga Allah l merahmati mereka semua. Mereka memandang bahwa apa yang telah berlalu, baik berupa bathsyah (hantaman), sebagaimana dalam firman Allah l:
“(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras, sesungguhnya Kami benar-benar menimpakan hukuman.” (ad-Dukhan: 16)
atau lizam (kebinasaan), sebagaimana dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya kalian telah mendustakan-Nya, kelak akan menjadi kebinasaan bagi kalian.” (al-Furqan: 77)
atau dukhan (kabut), sebagaimana dalam ayat:
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (ad-Dukhan: 10)
Demikian pula yang menimpa orang-orang kafir Quraisy, berupa pembunuhan dan penawanan pada Perang Badar, termasuk azab yang diisyaratkan di sini.Itu semua merupakan musibah-musibah dunia.
Dalam Tafsir-nya, as-Suyuthi t menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Idris al-Khaulani, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ubadah bin ash-Shamit z tentang ayat ini. Beliau menjawab, ‘Aku pernah menanyakan ayat ini kepada Rasulullah n. Beliau n bersabda, ‘Itu adalah musibah, sakit, dan kesusahan, sebagai azab di dunia bagi orang yang melampaui batas sebelum datang azab akhirat.’ Aku bertanya kembali kepada Rasulullah n, ‘Wahai Rasulullah, apa yang kita peroleh jika semua itu menimpa kita?’ Beliau menjawab, ‘Suci dan bersih’.”
Adapun pengertian azab adalah siksaan dan hukuman. Dikatakan dengan kalimat عَذَّبْتُهُ تَعْذِيبًا وَعَذَابًا, yakni “Aku menyiksanya.”
Sekilas, banyak orang mengira bahwa azab merupakan istilah yang digunakan hanya untuk azab yang besar, berat, dan mengerikan. Hal ini karena penyebutan azab dalam Al-Qur’an seringnya berupa azab yang keras, pedih, hina, besar, berat, kekal, dan sebagainya. Semua itu sebagai bentuk ancaman bagi mereka yang terjerumus dalam syahwat, syubhat, kesesatan, dan pelanggaran.
Namun, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah l mengancam orang-orang yang menentang dan membuat kerusakan dengan suatu azab selain azab yang besar. Dengan harapan, mereka mau kembali dari kesesatan kepada ketaatan dan tersadarkan dari perbuatannya. Allah l menjelaskan bahwa bencana dan malapetaka yang menimpa orang-orang yang menentang di dunia ini itu hanya azab yang dekat (kecil).
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (as-Sajdah: 21)
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai “azab yang dekat”.
1. Maknanya adalah musibah dunia, penyakit, bencana yang menimpa jiwa dan harta, yang Allah l menjadikannya sebagai ujian bagi hamba-Nya agar mereka bertaubat.
Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abul Aliyah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah, Athiyah, Mujahid, dan Qatadah, semoga Allah l merahmati mereka semua. Mereka memandang bahwa apa yang telah berlalu, baik berupa bathsyah (hantaman), sebagaimana dalam firman Allah l:
“(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras, sesungguhnya Kami benar-benar menimpakan hukuman.” (ad-Dukhan: 16)
atau lizam (kebinasaan), sebagaimana dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya kalian telah mendustakan-Nya, kelak akan menjadi kebinasaan bagi kalian.” (al-Furqan: 77)
atau dukhan (kabut), sebagaimana dalam ayat:
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (ad-Dukhan: 10)
Demikian pula yang menimpa orang-orang kafir Quraisy, berupa pembunuhan dan penawanan pada Perang Badar, termasuk azab yang diisyaratkan di sini.Itu semua merupakan musibah-musibah dunia.
Dalam Tafsir-nya, as-Suyuthi t menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Idris al-Khaulani, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ubadah bin ash-Shamit z tentang ayat ini. Beliau menjawab, ‘Aku pernah menanyakan ayat ini kepada Rasulullah n. Beliau n bersabda, ‘Itu adalah musibah, sakit, dan kesusahan, sebagai azab di dunia bagi orang yang melampaui batas sebelum datang azab akhirat.’ Aku bertanya kembali kepada Rasulullah n, ‘Wahai Rasulullah, apa yang kita peroleh jika semua itu menimpa kita?’ Beliau menjawab, ‘Suci dan bersih’.”
2. Maknanya adalah azab kubur.
Pendapat ini diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib, Abu ‘Ubaidah, dan Mujahid.
Pendapat ini diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib, Abu ‘Ubaidah, dan Mujahid.
3. Maknanya adalah hukum-hukum had.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas c.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas c.
4. Maknanya adalah pedang, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal.
Beliau berkata, “Maksudnya adalah dibunuh dengan pedang. Segala sesuatu yang Allah l mengancam umat ini dengan ancaman azab yang dekat, maksudnya adalah pedang.”
Ibnu Jarir t memandang bahwa pendapat yang paling utama dalam masalah ini adalah bahwa Allah l mengancam orang-orang fasik dan pendusta dengan ancaman-Nya di dunia berupa azab yang dekat, agar Dia merasakan azab tersebut kepada mereka sebelum azab yang besar. Azab ini adalah apa yang terjadi di dunia, yaitu bencana, kelaparan yang mematikan, pembunuhan, atau musibah lain yang menimpa. Terkadang, Allah l mengancam hamba-Nya dengan salah satu jenis azab, terkadang dengan semuanya.
Adapun hakikat azab yang dekat adalah setiap azab yang dengannya Allah l mengazab suatu umat atau individu, di dunia atau di alam kubur, baik bersifat merata seperti yang menimpa kaum Nuh maupun secara khusus, seperti yang menimpa Qarun.
Azab kadang bersifat hissi (fisik, tampak) seperti ditenggelamkan ke air, dibenamkan ke dalam bumi, diubah bentuk atau rupa (menjadi kera atau babi), gempa, suara keras yang mengguntur. Namun, terkadang azab juga bersifat maknawi (abstrak), seperti dilenyapkan penglihatannya (buta mata), ditutup, dan dikunci mata hatinya (buta hati), ditolak doanya, dan dikuasai oleh setan. Sama saja, dosa yang dilakukan berupa sikap congkak, melampaui batas terhadap sang Pencipta, seperti syirik dan mendustakan para rasul; atau melampaui batas terhadap hak manusia, seperti membunuh orang-orang yang lemah atau curang dalam menimbang.
Allah l terkadang menyegerakan azab dan menimpakannya secara tiba-tiba karena suatu dosa. Adakalanya Ia menunda azab duniawi dalam keadaan orang yang tertipu menyangka bahwa ia berada di atas kebaikan. Apalagi jika ia melihat nikmat dan karunia-Nya datang terus-menerus dan silih berganti. Ia tidak tahu bahwa jarak antara dirinya dengan azab Allah l hanya sekejap mata, sebagaimana azab yang menimpa kaum Nabi Luth q.
Semua yang terjadi itu menjadi tanda kekuasaan Allah l bagi semesta alam, nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, dan peringatan serta contoh bagi siapa saja yang meniru amalan/perbuatan orang-orang yang berbuat dosa.
Allah l terkadang mengakhirkan azab hingga di negeri akhirat supaya siksaan itu bertambah. Orang kafir menyangka, penangguhan azab Allah l terhadapnya lebih baik baginya.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)
Orang yang tidak berilmu menyangka bahwa orang kafir berada di atas kebenaran dengan kenikmatan hidup yang mereka dapati dan keselamatan mereka dari azab di dunia. Ia tidak mengira bahwa kenikmatan hidup yang mereka dapati itu hanya bagian dari disegerakannya balasan atas perbuatan mereka.
Ibnu Katsir t menafsirkan surat al-Ahqaf ayat 20, “Mereka dibalas sesuai dengan amalannya. Sebagaimana mereka lebih suka memuaskan hawa nafsu, menyombongkan diri dari mengikuti kebenaran, senang melakukan kefasikan dan kemaksiatan, Allah l pun membalas mereka dengan azab kehinaan, yaitu kehinaan, kerendahan, rasa sakit yang menyakitkan, penyesalan yang terus-menerus, dan tempat tinggal di lapisan neraka yang mengerikan.”
Beliau berkata, “Maksudnya adalah dibunuh dengan pedang. Segala sesuatu yang Allah l mengancam umat ini dengan ancaman azab yang dekat, maksudnya adalah pedang.”
Ibnu Jarir t memandang bahwa pendapat yang paling utama dalam masalah ini adalah bahwa Allah l mengancam orang-orang fasik dan pendusta dengan ancaman-Nya di dunia berupa azab yang dekat, agar Dia merasakan azab tersebut kepada mereka sebelum azab yang besar. Azab ini adalah apa yang terjadi di dunia, yaitu bencana, kelaparan yang mematikan, pembunuhan, atau musibah lain yang menimpa. Terkadang, Allah l mengancam hamba-Nya dengan salah satu jenis azab, terkadang dengan semuanya.
Adapun hakikat azab yang dekat adalah setiap azab yang dengannya Allah l mengazab suatu umat atau individu, di dunia atau di alam kubur, baik bersifat merata seperti yang menimpa kaum Nuh maupun secara khusus, seperti yang menimpa Qarun.
Azab kadang bersifat hissi (fisik, tampak) seperti ditenggelamkan ke air, dibenamkan ke dalam bumi, diubah bentuk atau rupa (menjadi kera atau babi), gempa, suara keras yang mengguntur. Namun, terkadang azab juga bersifat maknawi (abstrak), seperti dilenyapkan penglihatannya (buta mata), ditutup, dan dikunci mata hatinya (buta hati), ditolak doanya, dan dikuasai oleh setan. Sama saja, dosa yang dilakukan berupa sikap congkak, melampaui batas terhadap sang Pencipta, seperti syirik dan mendustakan para rasul; atau melampaui batas terhadap hak manusia, seperti membunuh orang-orang yang lemah atau curang dalam menimbang.
Allah l terkadang menyegerakan azab dan menimpakannya secara tiba-tiba karena suatu dosa. Adakalanya Ia menunda azab duniawi dalam keadaan orang yang tertipu menyangka bahwa ia berada di atas kebaikan. Apalagi jika ia melihat nikmat dan karunia-Nya datang terus-menerus dan silih berganti. Ia tidak tahu bahwa jarak antara dirinya dengan azab Allah l hanya sekejap mata, sebagaimana azab yang menimpa kaum Nabi Luth q.
Semua yang terjadi itu menjadi tanda kekuasaan Allah l bagi semesta alam, nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, dan peringatan serta contoh bagi siapa saja yang meniru amalan/perbuatan orang-orang yang berbuat dosa.
Allah l terkadang mengakhirkan azab hingga di negeri akhirat supaya siksaan itu bertambah. Orang kafir menyangka, penangguhan azab Allah l terhadapnya lebih baik baginya.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)
Orang yang tidak berilmu menyangka bahwa orang kafir berada di atas kebenaran dengan kenikmatan hidup yang mereka dapati dan keselamatan mereka dari azab di dunia. Ia tidak mengira bahwa kenikmatan hidup yang mereka dapati itu hanya bagian dari disegerakannya balasan atas perbuatan mereka.
Ibnu Katsir t menafsirkan surat al-Ahqaf ayat 20, “Mereka dibalas sesuai dengan amalannya. Sebagaimana mereka lebih suka memuaskan hawa nafsu, menyombongkan diri dari mengikuti kebenaran, senang melakukan kefasikan dan kemaksiatan, Allah l pun membalas mereka dengan azab kehinaan, yaitu kehinaan, kerendahan, rasa sakit yang menyakitkan, penyesalan yang terus-menerus, dan tempat tinggal di lapisan neraka yang mengerikan.”
Perbedaan Musibah sebagai Cobaan dan Azab
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t pernah ditanya, “Kapan seorang hamba mengetahui bahwa musibah yang menimpa itu merupakan cobaan atau azab (siksaan)? Jika seseorang diuji dengan sakit atau musibah jelek yang menimpa jiwa atau hartanya, bagaimana ia tahu bahwa musibah itu adalah cobaan atau kemurkaan dari sisi Allah l?”
Beliau menjawab, “Allah l menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan, kesempitan dan kelapangan.
Allah l terkadang mengujinya untuk mengangkat derajat, meninggikan nama, dan melipatgandakan pahala mereka, seperti yang Ia lakukan terhadap para nabi, rasul, dan hamba-Nya yang saleh. Hal ini sebagaimana termuat dalam riwayat dari jalan Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya Sa’d bin Abi Waqqash z. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang berat cobaannya?” Beliau n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)
Terkadang, Allah l menimpakan hal itu karena kemaksiatan dan dosa sehingga musibah itu menjadi hukuman yang disegerakan. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“(Dan) apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Keumuman manusia menyepelekan dan tidak menunaikan kewajiban. Jadi, musibah apa pun yang menimpa adalah karena dosa dan sikap mereka menyepelekan perintah Allah l.
Sebab itu, apabila seorang hamba yang saleh diuji dengan sakit atau semisalnya, hal ini sejenis dengan ujian yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Tujuannya adalah meninggikan derajat, membesarkan pahala, dan agar menjadi teladan bagi yang lain dalam kesabaran dan keikhlasan.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t pernah ditanya, “Kapan seorang hamba mengetahui bahwa musibah yang menimpa itu merupakan cobaan atau azab (siksaan)? Jika seseorang diuji dengan sakit atau musibah jelek yang menimpa jiwa atau hartanya, bagaimana ia tahu bahwa musibah itu adalah cobaan atau kemurkaan dari sisi Allah l?”
Beliau menjawab, “Allah l menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan, kesempitan dan kelapangan.
Allah l terkadang mengujinya untuk mengangkat derajat, meninggikan nama, dan melipatgandakan pahala mereka, seperti yang Ia lakukan terhadap para nabi, rasul, dan hamba-Nya yang saleh. Hal ini sebagaimana termuat dalam riwayat dari jalan Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya Sa’d bin Abi Waqqash z. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang berat cobaannya?” Beliau n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)
Terkadang, Allah l menimpakan hal itu karena kemaksiatan dan dosa sehingga musibah itu menjadi hukuman yang disegerakan. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“(Dan) apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Keumuman manusia menyepelekan dan tidak menunaikan kewajiban. Jadi, musibah apa pun yang menimpa adalah karena dosa dan sikap mereka menyepelekan perintah Allah l.
Sebab itu, apabila seorang hamba yang saleh diuji dengan sakit atau semisalnya, hal ini sejenis dengan ujian yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Tujuannya adalah meninggikan derajat, membesarkan pahala, dan agar menjadi teladan bagi yang lain dalam kesabaran dan keikhlasan.
Kesimpulan
1. Terkadang cobaan itu untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala.
Hal ini sebagaimana yang telah Allah l perbuat terhadap para nabi dan sebagian orang pilihan (musibah sebagai cobaan).
1. Terkadang cobaan itu untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala.
Hal ini sebagaimana yang telah Allah l perbuat terhadap para nabi dan sebagian orang pilihan (musibah sebagai cobaan).
2. Cobaan tersebut kadang bermaksud untuk menghapuskan dosa-dosa (musibah sebagai kaffarah), sebagaimana firman Allah l:
“Barang siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu.” (an-Nisa’: 123)
Demikian juga sabda Nabi n:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan segala kesalahan dan dosanya dengan musibah itu, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Demikian pula sabda beliau n:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرا يُصِبْ مِنْهُ
“Barang siapa yang Allah l inginkan kebaikan, Allah l menimpakan musibah kepadanya.”(HR. al-Bukhari, no. 5321)
“Barang siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu.” (an-Nisa’: 123)
Demikian juga sabda Nabi n:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan segala kesalahan dan dosanya dengan musibah itu, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Demikian pula sabda beliau n:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرا يُصِبْ مِنْهُ
“Barang siapa yang Allah l inginkan kebaikan, Allah l menimpakan musibah kepadanya.”(HR. al-Bukhari, no. 5321)
3. Terkadang, azab itu disegerakan karena kemaksiatan dan tidak segeranya bertaubat (musibah sebagai hukuman/kemurkaan).
Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah n:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah l menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah l menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah l akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396) (al-‘Adzabul Adna, karya Muhammad bin ‘Abdillah as-Suhaim).
Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah n:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah l menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah l menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah l akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396) (al-‘Adzabul Adna, karya Muhammad bin ‘Abdillah as-Suhaim).
0 comments:
Post a Comment