Pertama, kita perlu memahami bahwa sesungguhnya, harta semata, tidaklah tercela. Karena harta bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, juga untuk kejahatan. Dalam hal ini, harta berada pada posisi netral. Disamping itu, syariat islam mengakui peran dan fungsi harta yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Ada dua ayat dalam al-Quran, menyebut harta dengan kata ’khoir’ yang artinya kebaikan,
1. Firman Allah,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (QS. Al-Baqarah: 180)
Kita bisa perhatikan, dalam ayat ini Allah menyebut harta yang banyak dengan kata khoiran.
2. Firman Allah,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
”Dan manusia sangat cinta kepada al-khoir.”
Makna kata al-khoir adalah maal (harta). [Tafsir Zadul Masir, 4/482].
Harta disebut al-khoir, yang artinya kebaikan, karena dengan adanya harta, orang bisa melakukan berbagai kebaikan dengan petunjuk Allah.
Demikian pula, terdapat beberapa hadis, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji harta yang digunakan untuk kebaikan. Dalam hadis dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ الـمَالُ الصَّالِـح مَعَ الرَّجُل الصَّالِـح
“Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang sholeh.” (HR. Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Oleh karena itu, memiliki harta tidaklah tercela. Selama harta itu tidak untuk dikuasai sendiri, apalagi digunakan untuk masiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى
”Tidak masalah memiliki kekayaan, bagi orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 23228, Ibnu Majah 2141, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, kekayaan yang sejati
Kekayaan yang sejati adalah merasa cukup lahir dan bain. Dalam arti, seseorang mendapatkan rizki yang mencukupi kebutuhan hidupnya, dan dia tidak mengharapkan apa yang ada di tangan orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk menjadi orang kaya. Dan permitaan kaya yang beliau inginkan bukan banyak harta, namun keadaan cukup, sehingga tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Diantara doa beliau, disebutkan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, terjaga kehormatan, dan kekayaan.” (HR. Muslim 2721).
An-Nawawi menjelaskan makna kata ’kaya’ dalam doa ini,
والغنى هنا غنى النفس والاستغناء عن الناس وعما في أيديهم
”Kaya di sini adalah kaya jiwa, tidak membutuhkan bantuan orang lain, dan tidak mengharapkan harta yang ada di tangan mereka” (Syarh Shahih Muslim, 17/41)
Hal ini bisa dipahami, karena beliau juga berdoa agar rizki beliau cukup untuk makan,
اللَّهُمّ اجْعَل رِزْقَ آل مُحَمّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (HR. Muslim 1055, Turmudzi 2361, dan yang lainnya).
Kamudian, secara bahasa, lawan dari kata al-ghina (kaya) adalah al-faqr, yang secara bahasa artinya membutuhkan. Sehingga sebanyak apapun harta seseorang, sementara dia masih terus merasa membutuhkan apa yang bukan miliknya, berarti dia masih fakir. (Syarh Shahih Muslim, 7/140)
Ketiga, Boleh berdoa minta kekayaan
Dari keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita mendapat kesimpulan bahwa inti dari kekayaan adalah hidup yang cukup. Memiliki harta yang mencukupi kebutuhan pokok hidupnya dan keadaan hati yang tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Pertanyaanya, bolehkah kita meminta harta berlebih dari kebutuhan kita?
Terdapat bebrapa dalil yang menunjukkan bahwa seorang muslim, boleh memiliki banyak harta, dan itu tidak tercela selama dia gunakan untuk kebaikan.
Diantaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى
”Tidak masalah memiliki kekayaan, bagi orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 23228, Ibnu Majah 2141, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kemudian, beliau juga memuji harta yang dipegang oleh orang sholeh,
نِعْمَ الـمَالُ الصَّالِـح مَعَ الرَّجُل الصَّالِـح
“Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang sholeh.” (HR. Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pembagian manusia berdasarkan harta,
Dari Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَثَلُ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ هَذَا، عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ” قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ ” ” وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِيهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ، وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي مَالٌ مِثْلُ هَذَا، عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ” قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ
“Permisalan umat ini seperti empat kelompok manusia:
a. Seseorang yang Allah beri harta dan ilmu agama, maka dia beramal dengan hartanya sesuai ilmunya, dia infakkan hartanya sesuai kewajibannya.
b. Seseorang yang Allah beri ilmu, tapi tidak Allah beri harta. Dia berkata, ”Andai aku punya harta seperti dia (kelompok pertama), niscaya aku akan berbuat seperti yang dia lakukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi catatan,
”Mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.”
c. Seseorang yang Allah beri harta, namun tidak Allah beri ilmu. Dia menghabiskan hartanya dan dia keluarkan hartanya pada tempat yang bukan haknya.”
d. Seseorang yang tidak Allah beri harta dan tidak pula ilmu. Maka dia berangan-angan, ”Andai aku punya harta seperti dia (kelompok ketiga), niscaya aku akan berbuat seperti orang itu.”
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi catatan,
”Mereka berdua mendapatkan dosa yang sama.”
(HR. Ahmad 18024, Ibn Majah 4228, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Anda bisa perhatikan, ketika seseorang tidak memilliki kelebihan harta, kemudian dia berharap memiliki kelebihan harta agar bisa beramal sholeh dengan hartanya, tidak Allah sia-siakan dan tetap Allah beri pahala.
Rasulullah bahkan mengizinkan kita untuk melakukan hasad kepada dua jenis manusia. Artinya kita mengharapkan apa yang dimiliki oleh dua jenis manusia itu,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
”Tidak ada hasad kecuali pada dua orang:
Orang yang Allah beri harta, dan dia habiskan harta itu untuk kebaikan.
Orang yang Allah beri ilmu, dia memutuskan perkara berdasarkan ilmunya dan dia juga mengajarkan ilmunya.” (HR. Bukhari 73, Muslim 816, dan yang lainnya)
Orang yang Allah beri ilmu, dia memutuskan perkara berdasarkan ilmunya dan dia juga mengajarkan ilmunya.” (HR. Bukhari 73, Muslim 816, dan yang lainnya)
Dengan demikian, tidak masalah seorang muslim berharap dan berdoa agar menjadi orang kaya, dengan catatan, dia memiliki tekad kuat kekayaan itu tidak hanya dia nikmati sendiri dan tidak dia gunakan untuk maksiat. Namun kekayaan itu dia gunakan untuk mendukung kebaikan dan dakwah di jalan Allah.
0 comments:
Post a Comment