MAKNA HIDAYAH
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
اَلْهِدَايَةُ هِيَ الْعِلْمُ بِالْحَقِّ مَعَ قَصْدِهِ وَإِيْثَارِهِ عَلَى غَيْرِهِ، فَالْمُهْتَدِيْ هُوَ الْعَامِلُ بِالْحَقِّ الْمُرِيْدُ لَهُ
Hidayah yaitu mengetahui kebenaran disertai dengan niat untuk mengetahuinya dan mengutamakannya dari pada yang lainnya. Jadi orang yang diberi hidayah yaitu yang melakukan kebenaran dan menginginkannya.[1]
PENTINGNYA HIDAYAH
Seorang Muslim dalam kehidupannya sangat membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa lepas dari hidayah Allâh Azza wa Jalla . Apalagi di zaman yang digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana fitnah itu seperti potongan malam yang kelam, paginya seorang beriman namun sore harinya ia menjadi kafir. Sorenya beriman namun di pagi harinya ia menjadi kafir, ia menjual agamanya demi sedikit dari harta dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit.[2]
Manusia membutuhkan hidayah lebih dari kebutuhan mereka terhadap makan dan minum. Bahkan Allâh Subahnahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin dalam shalatnya untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allâh Azza wa Jalla sebanyak tujuh belas kali setiap harinya. Ini menunjukkan betapa pentingnya hidayah itu dalam hidup dan kehidupan manusia.
Betapa pentingnya masalah hidayah, banyak manusia yang memohon dan mengharapkan hidayah menyapa dirinya. Tapi sayang, mereka tidak mau berusaha untuk menjalankan sebab-sebabnya. Hidayah tidak akan datang secara tiba-tiba dan gratis. Hidayah memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya. Tidak mungkin Allâh Subahnahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menuntun tangan seorang hamba agar bergerak menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, kalau hamba tersebut bermalas-malasan ketika mendengar adzan dan tidak mau mengambil air wudhu. Tidak mungkin juga Allâh Azza wa Jalla mengutus malaikat-Nya untuk menarik tangan seorang hamba dari kemaksiatan dan kemungkaran, kalau hamba tersebut tidak berusaha menjauhinya.
Benarlah ibarat yang sering kita dengar, “hidayah itu mahal”. Ya, hidayah memang mahal. Ia tidak diberikan kepada orang-orang yang hanya bisa mengharap tanpa mau berusaha. Ia diberikan hanya kepada mereka yang mau bersungguh-sungguh mencarinya dan berusaha mendapatkannya. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allâh beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-‘Ankabût/29:69]
Ingatlah kisah Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu ! Bagaimana beliau Radhiyallahu anhu berusaha dan berjuang untuk mendapatkan hidayah, beliau meninggalkan Persia untuk mendapatkan hidayah sampai masuk agama Nashrani. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu pergi ke Madinah sampai bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau masuk Islam.[3]
Dalam masalah hidayah ini, Ibnu Rajab rahimahullah telah membagi manusia menjadi tiga bagian :
Pertama, رَاشِدٌ (râsyid) yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya.
Kedua, غَاوِيٌ (ghâwi) yaitu orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.
Dan ketiga, ضّالٌّ (dhal) yaitu orang yang tidak mengetahui hidayah secara menyeluruh.
Setiap râsyid, dia mendapat petunjuk, dan setiap orang yang mendapat petunjuk secara sempurna maka ia dikatakan râsyid. Karena hidayah menjadi sempurna apabila seseorang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.[4]
HUBUNGAN HIDAYAH DAN ISTIQOMAH
Istiqâmah adalah meniti jalan yang lurus dan tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah mencakup mengerjakan seluruh ketaatan yang lahir maupun yang batin dan meninggalkan larangan yang lahir maupun batin.
Seorang hamba dalam meniti jalan yang lurus ini membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa berjalan tanpa melenceng ke kiri dan ke kanan kecuali dengan hidayah dari Allâh. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus [Al-Fatihah/1:6]
Dalam ayat di atas Allâh Subahnahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memohon hidayah dalam meniti jalan yang lurus. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksudnya, tuntun kami dan tunjuki kami serta berikan kami taufik kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan yang jelas yang mengantarkan kita kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala dan surga-Nya. Jalan tersebut adalah mengenal kebenaran dan mengamalkannya. Maka, tunjuki kami kepada jalan yang lurus dan tunjuki kami di dalam jalan yang lurus tersebut. Maksudnya, tunjuki kami ke jalan yang lurus adalah berpegang teguh pada agama islam dan meninggalkan agama selain islam. Dan makna tunjuki kami di dalam jalan yang lurus adalah mencakup hidayah kepada semua perincian agama secara ilmu dan amal. Doa ini merupakan doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi hamba. Karenanya, wajib bagi seorang hamba untuk berdoa kepada Allâh dengan doa ini di setiap rakaat shalatnya.”[5]
Seorang Muslim tidak mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Ia tidak mengetahui apakah besok dia masih tetap setia berada di jalan yang lurus atau tidak. Karenanya seorang Muslim dituntut untuk selalu memohon hidayah agar ditetapkan dalam agama ini dan diberikan akhir kehidupan yang baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa hati seorang hamba terletak di antara jari jemari Allâh, jika Allâh Subahnahu wa Ta’ala menghendaki sesat, maka ia akan sesat, dan jika Allâh Subahnahu wa Ta’ala menghendaki ia lurus, maka ia pun akan lurus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا أُمَّ سَلَمَةَ ! إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ، فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ.
Wahai Ummu Salamah! Tidaklah ada seorang anak adam melainkan hatinya terletak di antara dua jemari Allâh, kalau Allâh berkehendak, Dia akan luruskan, dan jika Dia berkehendak, Dia akan sesatkan.[6]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.[7]
Seorang insan tidak bisa istiqâmah melainkan dengan hidayah dari Allâh Subahnahu wa Ta’ala . Dua perkara ini sangat berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu seorang Muslim jika ia ingin tetap berada di atas hidayah sampai wafatnya, maka ia wajib berpegang teguh dengan al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafus shalih. Ia wajib melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala , menjauhkan larangan-larangan-Nya. Ia juga wajib melaksanakan tauhid dan menjauhkan syirik, melaksanakan sunnah dan menjauhkan bid’ah, serta senantiasa berdoa kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala agar ditetapkan di atas hidayah dan Sunnah dan diwafatkan di atas sunnah. Bila seseorang istiqâmah dalam melaksanakan sunnah sesuai dengan petunjuk syari’at, maka Allâh Subahnahu wa Ta’ala akan menambah petunjuk kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” [Muhammad/47:17]
MACAM-MACAM HIDAYAH[8]
Hidayah memiliki empat macam:
Pertama: Hidayah yang umum yang mencakup seluruh makhluk yang Allâh jelaskan dalam firman-Nya :
قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ
Dia (Musa) menjawab, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” [Thaha/20:50]
Maknanya, bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memberikan segala sesuatu bentuknya yang tidak akan serupa dengan lainnya. Allâh memberikan setiap anggota badan bentuk dan gerakannya, memberikan setiap orang rupa yang khusus, kemudian memberikan mereka hidayah kepada pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan sesuai dengan penciptaan mereka. Seperti Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada hewan untuk bergerak dengan kemauannya demi mendapat apa-apa yang bermanfaat baginya dan menolak bahaya yang mengancamnya. Benda mati diberikan hidayah sesuai dengan penciptaannya. Semuanya itu diberikan hidayah yang layak dengan penciptaan mereka. Sebagaimana setiap macam hewan memiliki hidayah yang sesuai dengannya meskipun berbeda macam dan rupanya, begitu juga anggota badan memiliki hidayah yang layak dengannya. Allâh Subahnahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada kaki untuk berjalan, tangan untuk menggenggam dan bekerja, lisan untuk berbicara, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat pemandangan. Begitulah Allâh Subahnahu wa Ta’ala berikan hidayah sesuai dengan penciptaannya. Allâh juga memberikan hidayah kepada pasangan setiap hewan untuk melakukan perkembang-biakan dan mendidik anak, dan memberikan hidayah kepada seorang anak untuk menghisap puting susu ibunya.
Dan urutan hidayah ini hanya Allâh yang dapat menghitungnya. Allâh juga telah memberi hidayah kepada lebah untuk membuat sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di bangunan-bangunan. Kemudian setelah itu ia diperintah untuk menempuh jalan Rabb-nya yang telah dimudahkan baginya dan kembali ke rumahnya. Ia juga diberikan hidayah untuk mentaati induk lebah, mengikutinya, dan bermakmum padanya kemana pun ia pergi. Ia juga diberikan hidayah untuk membangun rumah yang indah dan kokoh.
Siapa pun yang memperhatikan sebagian dari hidayah Allâh yang tersebar di alam semesta ini, maka ia akan menyaksikan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allâh, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, Maha Perkasa Maha Bijaksana.
Alihkanlah perhatian Anda dari pengetahuan terhadap hidayah ini kepada penetapan kenabian dengan pandangan yang mudah, benar, ringkas, dan paling jauh dari syubhat. Karena, bagaimana mungkin Rabb yang tidak membiarkan hewan-hewan sia-sia dan memberikan mereka hidayah yang susah dicerna oleh para pemikir, membiarkan manusia yang dimuliakan dan diberikan karunia atas seluruh makhluk begitu saja, tidak memberinya petunjuk kepada kesempurnaannya, malah dibiarkan begitu saja tanpa diperintah, dilarang, tidak diganjar, dan dihukum ? Sungguh, ini merupakan ketidaksesuaian terhadap hikmah Allâh dan menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala .
Karenanya, Allâh Subahnahu wa Ta’ala mengingkari orang-orang yang berpendapat seperti yang disebutkan di atas dan menjelaskan bahwa itu mustahil. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ ﴿١١٥﴾ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ? Maka maha tinggi Allâh, raja yang sebenarnya, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (yang memiliki) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mukminûn/23: 115-116]
Allâh Azza wa Jalla mensucikan diri-Nya dari perkiraan ini. Maka jelaslah bahwa perkara ini (anggapan bahwa manusia diciptakan sia-sia) telah terbukti kebatilannya dalam fitrah manusia yang suci dan akal yang lurus. Ayat ini juga merupakan salah satu dalil yang menetapkan hari akhirat dengan akal. Dan hal tersebut telah jelas dengan dalil akal dan syara’, sebagaimana ia juga merupakan salah satu jalan yang kuat dalam hal ini. Siapa yang faham tentang ini maka ia akan memahami rahasia firman Allâh Subahnahu wa Ta’ala :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Rabb mereka dikumpulkan.” [Al-An’âm/6:38]
Dengan firman-Nya :
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ ۚ قُلْ إِنَّ اللَّهَ قَادِرٌ عَلَىٰ أَنْ يُنَزِّلَ آيَةً وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan mereka (orang musyrik) berkata, ‘mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Rabbnya?’ katakanlah, ‘sesungguhnya Allâh berkuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.’ [Al-An’âm/6:37]
Kalau Allâh Subahnahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada binatang, maka apalagi kepada manusia ! Allâh tidak mungkin membiarkan mereka. Oleh karena itu, Allâh mengutus para Nabi dan para Rasul untuk menunjuki mereka kepada kemaslahatan mereka, di dunia dan akhirat.
Kedua: Hidayah bayan (keterangan) dan dilalah (petunjuk), serta pengenalan terhadap dua jalan; jalan kebaikan dan keburukan, keselamatan dan kebinasaan.
Hidayah ini tidak mengharuskan adanya petunjuk yang sempurna, karena hidayah macam ini hanya sebagai sebab dan syarat bukan sebagai penjamin. Karenanya perlu disandingkan petunjuk dengan hidayah ini, seperti firman Allâh Subahnahu wa Ta’ala :
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَىٰ
Dan adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu…” [Fushshilat/41:17]
Maksudnya, Kami jelaskan kepada mereka, Kami tunjuki mereka, dan Kami tuntun mereka, tapi mereka tidak mau mengikuti hidayah itu. Diantaranya juga firman Allâh :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing manusia kepada jalan yang lurus. [Asy-Syûra/42:52]
Ketiga: Hidayah taufik dan ilham. Hidayah ini mengharuskan adanya petunjuk dan tidak pernah absen dalam mengikutinya. Hidayah ini yang disebut oleh Allâh dalam firman-Nya :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak Dia bisa menjadikan kalian umat yang satu, akan tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki...” [An-Nahl/16:93]
Juga firman-Nya :
إِنْ تَحْرِصْ عَلَىٰ هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ
Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya…” [An-Nahl/16:37]
Juga dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ.
Siapa yang Allâh beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allâh sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”[9]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Al-Qashash/28:56]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menafikan hidayah taufik dan ilham dari diri Nabi Muhammad n dan menetapkan hidayah dakwah dan penjelasan dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
…Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing manusia kepada jalan yang lurus. [Asy-Syûra/42: 52]
Keempat: Tujuan dari semua hidayah, yaitu hidayah di akhirat, menuju ke Surga atau ke Neraka ketika para penghuninya digiring ke dalamnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Rabb karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai. [Yûnus/10:9]
Dan perkataan penghuni surga ketika berada di dalamnya :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا
“…Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami ke surga ini…” [Al-A’râf/7:43]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla tentang penghuni neraka :
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ ﴿٢٢﴾ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْجَحِيمِ
(Diperintahkan kepada malaikat), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allâh, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.’” [Ash-Shaffât/37:22-23]
Apabila Anda telah mengetahui ini, maka hidayah yang selalu diminta dalam firman-Nya tentang jalan yang lurus adalah hidayah dari macam yang kedua dan ketiga saja, yaitu memohon penjelasan, petunjuk, taufik dan ilham.
DOA-DOA AGAR DIKARUNIAI HIDAYAH
Setelah kita mengetahui bahwa seorang insan tidak pernah lepas dari hidayah dan bahwa ia sangat membutuhkan hidayah melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum, maka berikut ini kami bawakan beberapa doa dari al-Qur’an dan as-sunnah agar kita dikaruniai hidayah oleh Allâh.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau maha pemberi. [Ali Imrân/3:8]
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.[10]
اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِيْ وَاْجَعْلِنْي هَادِيًا مَهْدِيًّا
Ya Allâh, teguhkanlah diriku, jadikanlah diriku pemberi petunjuk dan diberi petunjuk (oleh-Mu).[11]
اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ وَسَدِّدْنِيْ ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Ya Allâh, berilah petunjuk kepadaku dan luruskanlah diriku. Ya Allâh, aku memohon petunjuk dan kelurusan kepada-Mu.[12]
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/baik), dan kecukupan[13]
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Ya Allâh, Rabb Jibrîl, Mikâ-îl, dan Israfîl. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb Yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran (yaitu, tetapkan aku di atas kebenaran) dari apa yang dipertentangkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki.”[14]
Wallahu a’lamu bish shawaab.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013.]
_______
Footnote
[1]. Miftâh Dâris Sa'âdah (I/305), ta'liq Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.
[2]. Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3]. Tentang kisah masuknya Islamnya Salman al-Fârisi Radhiyallahu anhu dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya, Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 363-366). Lihat juga kitab-kitab lain dalam ta’liq Syaikh Ali Hasan al-halabi terhadap kitab ini.
[4]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/126), cet. Muassasah ar-Risalah.
[5]. Taisîr karîmir Rahmân (hlm. 39), cet. I, Daarul Fadhiilah, th. 1425 H.
[6]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3522).
[7]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[8]. Badâ-i’ul Fawâ-id (hlm. 207-208), karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq dan takhrij Basyir Muhammad ‘Uyun, cet. II, Maktabah Darul bayan, th. 1425 H. Lihat juga Miftâh Dâris Sa’âdah (I/307-309), karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah , ta’liq dan takhrij Syaikh Ali Hasan al-Halabi, cet. I, Daar Ibni ‘Affan, th. 1416 H.
[9]. HR. Abu Dawud (no. 2118), at-Tirmidzi (no. 1105), dan lainnya.
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 3522)
[11]. HR. Al-Bukhâri (no. 6333)
[12]. HR. Muslim (no. 2725)
[13]. HR. Muslim (no. 2721).
[14]. HR. Muslim (no. 770 (200)), Abu Dawud (no. 767), dan Ibnu Mâjah (no. 1357). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca doa istiftâh ini ketika shalat malam. Lihat do’a-do’a tersebut dalam buku penulis, Do’a dan Wirid, cet. XVI, Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta, th. 2013.
0 comments:
Post a Comment