Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah .Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (QS. Al Baqarah: 165).
Diantara faedah dari ayat ini adalah bahwa cinta merupakan ibadah, dan orang-orang musyrik mempersembahkan cintanya kepada tandingan-tandingan kepada selain Allah. Cinta yang dimaksud di sini adalah cinta ibadah yang melazimkan pengagungan, perendahan diri dan ketaatan kepada yang mencintainya. Jika seseorang mencintai sesuatu sampai ia mengagungkan sesuatu tersebut, merendahkan diri di hadapan sesuatu tersebut dan menaatinya, maka ia telah mempersembahkan cinta ibadah kepada sesuatu tersebut.
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “mahabbah (cinta) itu ada 2 macam:
- Cinta khusus yang merupakan cinta ibadah yang berkonsekuensi memberikan perendahan diri yang sempurna dan ketaatan kepada yang dicintainya. Dan ini hanya boleh diserahkan kepada Allah.
- Cinta yang musytarikah, ini ada tiga macam:
- Mahabbah thabi’i (cinta manusiawi), seperti cintanya orang yang lapar terhadap makanan
- Mahabbah isyfaq (cinta yang berupa kasih sayang), seperti cintanya orang tua kepada anaknya
- Mahabbah unsin wa ulfin (cinta yang berupa persahabatan), seperti cintanya seseorang kepada temannya atau sahabatnya”
Ketiga cinta ini tidak berkonsekuensi memberikan pengagungan dan perendahan diri. Seseorang tidak bersalah jika memiliki rasa cinta yang demikian dan juga tidak disebut syirik, namun wajib mendahulukan cinta yang jenis pertama dari pada jenis kedua” [Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad, 53-54]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menjelaskan hal senada: “Mahabbah dibagi menjadi 2 macam:
- Mahabbah ibadah (cinta ibadah), yaitu cinta yang disertai perendahan diri dan pengagungan. Orang yang mencintai dengan cintai ini hatinya meninggikan dan mengagungkan sesuatu yang dicintainya serta mengkonsekuensikan ia untuk mematuhi apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ini khusus ditujukan kepada Allah. Barangsiapa selain mencintai Allah juga mencintai selain-Nya dengan cinta ibadah maka ia musyrik dengan jenis syirik akbar. Para ulama juga menamai cintai jenis ini dengan mahabbah khashah (cinta khusus).
- Mahabbah yang bukan ibadah secara dzatnya. Ini ada beberapa macam:
- Mahabbah fillah wa lillah (cinta karena Allah dan bersama-sama mencintai Allah). Yaitu cinta yang muncul karena kecintaan kepada Allah. Yaitu, kita mencintainya karena ia dicintai oleh Allah. Kecintaan yang demikian kepada individu misalnya kepada para Nabi, para Rasul, shidiqiin, para syuhada, orang-orang shalih.Kecintaan yang demikian kepada amalan, misalnya cinta kepada amalan shalat, zakat, dan amalan-amalan kebaikan lainnya. Mahabbah jenis ini adalah turunan dari mahabbah jenis pertama yaitu mahabbatullah (mahabbah ibadah).
- Mahabbah isyfaq war rahmah (cinta berupa kasih sayang). Sebagaimana seseorang mencintai orang tua, mencintai anak kecil, mencintai dhuafa, menyayangi orang sakit.
- Mahabbah ijlal wa ta’zhim (cinta berupa pengagungan) yang bukan ibadah. Seperti seorang anak mencintai orang tuanya, mencintai gurunya, mencintai orang-orang sepuh yang shalih.
- Mahabbah thabi’iyyah (cinta yang manusiawi). Seperti mencintai makanan, minuman, pakaian, kendaraan, tempat tinggal”
Yang paling mulia dari jenis-jenis mahabbah ini adalah jenis pertama (mahabbah ibadah), sedangkan jenis yang lainnya merupakan perkara mubah. Kecuali jika ia digandengkan dengan hal yang mengkonsekuensikan ta’abbud (penghambaan), maka ia menjadi ibadah. Misalnya, seseorang mencintai orang tuanya dengan bentuk mahabbah ijlal wa ta’zhim (cinta berupa pengagungan). Jika dalam mencintai orang tuanya dibarengi niat untuk ta’abbudkepada Allah, yaitu ia niatkan cinta tersebut untuk menegakkan birrul walidain, maka cinta tersebut menjadi ibadah. Demikian juga orang tua mencintai anaknya dengan bentuk mahabbah isyfaq. Jika dibarengi dengan niat ingin menegakkan perintah Allah untuk mendidik anak, maka ia menjadi ibadah”.[Al Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin, 2/44-45]
0 comments:
Post a Comment