Setiap Muslim harus menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa ikhlas merupakan salah satu di antara dua syarat diterimanya amal perbuatan. Syarat yang kedua adalah ittibâ’; mengikuti syari’at dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa kedua syarat ini maka amal ibadah tidak akan diterima. Dalil tentang dua syarat ini sangat banyak disebutkan dalamKitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalil langsung maupun dalil tidak langsung. Dan itu sudah banyak di paparkan di majalah ini pada edisi-edisi terdahulu.
Karena itu, di samping ittibâ’, ikhlas merupakan keharusan yang mesti diperjuangkan oleh setiap Muslim ketika hendak atau sedang melakukan amal-amal ibadah.
Nah, selanjutnya bagaimana dengan seseorang yang melakukan amal-amal ibadah namun maksudnya untuk memperoleh balasan dunia? Apakah ia termasuk orang yang ikhlas dalam beribadah atau tidak?
Sesungguhnya secara umum, beramal untuk tujuan dunia merupakan perbuatan syirik yang akan menghilangkan kesempurnaan tauhid yang wajib dan menjadikan amal shaleh yang dilakukannya sia-sia tanpa pahala.[1]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang di akhirat tidak akan memperoleh apa-apa kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774) dalam tafsirnya membawakan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu yang mengatakan, “Sesungguhnya para ahli riyâˈ dengan amal-amal hasanât (amal-amal kebaikan) yang dilakukannya akan memperoleh apa yang mereka inginkan di dunia, tanpa dizhalimi sedikitpun.
Barangsiapa yang melakukan amal shaleh, baik berupa puasa, shalat, atau tahajud di malam hari, tetapi semua itu tidak dilakukan kecuali untuk memperoleh dunia, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala katakana, “Akan Kupenuhi semua upah dunia yang ia carinya, tetapi amal yang dimaksudkan untuk mencari dunia itu menjadi sia-sia di akhirat, dan ia akan menjadi golongannya orang-orang yang rugi di akhirat.[2]
Sementara, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di t (wafat 1376 H) dalam tafsirnya tentang surat Hûd, ayat ke-15 menyebutkan:
(Pengertian: Barangsiapa yang menghedaki kehidupan dunia dan perhiasannya) maksudnya: Semua kehendaknya hanya terbatas pada keinginan (memperoleh) kehidupan dunia dan perhiasannya, baik wanita, anak-anak maupun harta benda yang berlimpah; berupa emas, perak, kuda yang bagus, hewan-hewan ternak maupun sawah ladang. Segala keinginan, usaha dan perbuatannya hanya dimaksudkan untuk hal-hal duniawi seperti ini. Keinginannya sama sekali tidak diperuntukkan untuk memperoleh akhirat. Namun tujuan yang hanya demikian ini, hanyalah dilakukan oleh orang kafir saja. Sebab jika seseorang itu Mukmin, tentu keimanan yang ada pada dirinya akan menghalangi kehendaknya untuk hanya memperoleh tujuan dunia belaka. Bahkan keimanan yang dimilikinya serta amal yang dilakukannya, justeru karena pengaruh dari keinginannya terhadap akhirat.[3]
Kalau bukan karena keinginannya terhadap akhirat, bagaimana mungkin seseorang beriman dan beramal shaleh? Artinya, keinginan terhadap akhirat itulah yang menyebabkan seseorang menjadi beriman dan melakukan amal-amal ibadah.
Sedangkan Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan Âlusy Syaikh t (wafat th. 1285 H) menyebutkan penjelasan Ibnu ‘Abbâs z tentang ayat ini sebagai berikut:
Barangsiapa menghendaki upah dunia dan perhiasannya berupa harta, niscaya Kami (Allâh) akan penuhi segala usaha untuk mendapatkannya, baik kesehatan maupun kesenangan terhadap harta, isteri maupun anak. Semuanya itu akan diberikan dan tidak akan dikurangi sedikitpun. Tetapi kemutlakan ayat ini kemudian dibatasi pengertiannya dengan ayat lain (yaitu Al-Isrâˈ, ayat ke-18), sehingga tidak semua orang dan tidak semua keinginan yang demikian mesti terpenuhi seluruhnya, tetapi terikat pada kehendak Allâh Azza wa Jalla .[4]
Maksudnya tidak semua orang yang menginginkan dunia dengan amal perbuatannya, akan dipenuhi seluruhnya oleh Allâh Azza wa Jalla . Tetapi hanya orang yang dikehendaki-Nya saja, dan hanya sesuai dengan kadar yang dikehendaki-Nya pula.
Ayat yang dimaksud adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya (balasan) di dunia ini sesuai dengan apa yang Kami kehendaki, bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahannam yang ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. [Al-Isrâˈ/17:18]
Beliau rahimahullah juga membawakan riwayat dari Qatâdah rahimahullah yang mengatakan: Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, tuntutan dan tujuannya, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan dari amal-amal perbuatan baiknya di dunia ini. Kemudian ia akan sampai di akhirat sedangkan ia tidak memiliki satu kebaikanpun yang akan diberi balasan. Adapun seorang Mukmin, maka dengan perbuatan-perbuatan baiknya, ia akan mendapatkan balasan di dunia dan akan mendapatkan pahala pula di akhirat.[5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan dengan sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ، طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ، مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ»
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian indah. Jika ia diberi, ia ridha (senang), tetapi jika tidak diberi, ia benci. Celakalah ia dan tersungkurlah pada wajahnya, apabila terkena duri, ia tidak akan dapat mengeluarkannya meskipun dengan tatah. (Sebaliknya) berbahagialah (karena mendapatkan pohon sorga) bagi seorang hamba yang mengendalikan tali kekang kudanya untuk berjihad di jalan Allâh hingga rambutnya kusut masai dan kakinya berdebu. Jika ia bertugas melakukan penjagaan, ia tetap berada pada tugas penjagaan. Jika ia bertugas di dalam pasukan inti, ia tetap berada pada pasukan inti. Apabila ia meminta izin, ia tidak mendapat kesempatan untuk diberi izin dan jika ia minta pertolongan, maka ia tidak memiliki kesempatan untuk ditolong.[HR. Bukhâri dan lainnya].[6]
Hadits ini menjelaskan dua jenis manusia. Pertama, para hamba dunia yang keinginan hidupnya untuk dunia dan perhiasannya. Yang kedua, para hamba Allâh sejati, yaitu orang-orang yang selalu ridha dengan segala yang membuat Allâh Azza wa Jalla ridha, dan membenci segala apa yang mengundang murka Allâh Azza wa Jalla .
Dalam hadits ini dijelaskan: “Orang yang menjadi hamba dunia; berhak mendapat doa jelek dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akibatnya pasti jelek. Orang yang demikian tentu akan mendapatkan efek jelek dari doa tersebut dengan terjerumus ke dalam petaka dunia maupun akhirat.”[7]
Sedangkan hamba Allâh sejati adalah orang yang selalu ridha terhadap apa yang diridhai Allâh Azza wa Jalla , murka terhadap apa yang mendatangkan murka Allâh Azza wa Jalla , dan membenci apa yang mendatangkan kebencian Allâh dan RasulNya. Ia selalu membela para wali Allâh dan memusuhi musuh-musuh Allâh. Inilah hamba yang imannya benar-benar sempurna.[8] Orang ini berhak mendapatkan janji kebahagiaan hidup di surga.
Oleh karena itu, hendak masing-masing kita waspada, jangan sampai terjerumus menjadi hamba harta dan dunia, karena akibatnya sangat berbahaya bagi kehidupan kita, di dunia maupun di akhirat.
IBADAH UNTUK TUJUAN DUNIA
Kalimat amal ibadah untuk tujuan dunia mempunyai bebarapa kemungkinan makna; Ada kemungkinan bermakna riyâˈ atau sum’ah, yaitu apabila seseorang menghias-hiasi amal perbuatannya di hadapan orang lain supaya terlihat indah dan mendapat pujian. Atau seseorang dengan amal perbuatannya menginginkan upah dunia seperti orang yang berjihad untuk mendapat bayaran.[9]
Apabila yang dimaksud dengan tujuan dunia adalah riyâˈ atau sum’ah atau pujian orang, maka Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di t memberikan beberapa rincian sebagai berikut:
Apabila maksud yang mendorong seseorang melakukan amal shaleh adalah ingin dilihat orang lain (pamer), dan keinginan yang rusak ini terus berlanjut, maka amal shaleh yang dilakukannya menjadi sia-sia tanpa pahala dan termasuk syirik asghar. Dan dikhawatirkan menjadi jalan menuju syirik akbar.
Apabila yang mendorong seseorang untuk melakukan amal shaleh adalah keinginannya untuk mencari wajah Allâh dan ridha-Nya, tetapi bersamaan dengan itu juga besar keinginannya untuk dilihat orang lain (pamer), maka menurut zhahir nash-nash yang ada tentang itupun menunjukkan bahwa amalan itu batal (sia-sia).
Apabila yang mendorong seseorang melakukan amal shaleh adalah keinginannya untuk mencari wajah Allâh dan ridha-Nya saja, tetapi di tengah pelaksanaan amalnya muncul riyâˈ, maka jika ia berusaha menghilangkan riyâˈ ini dan berusaha ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , maka hal ini tidak membahayakan nilai amalnya. Namun apabila ia merasa tenang dengan riyâˈ yang muncul di tengah amalnya itu, maka nilai amalnya menjadi berkurang. Pelakunya mengalami kelemahan iman dan ikhlas, sesuai dengan kadar riyâˈ yang ada di dalam hatinya. Noda riyâˈ inilah yang telah menggoyang amal shalehnya.
Riyâˈ merupakan penyakit besar yang memerlukan penanganan serius, memerlukan upaya untuk melatih diri agar ikhlas, memerlukan perjuangan keras untuk menolak segala keinginan pamer serta tujuan-tujuan berbahaya lainnya, dan memerlukan kesungguhan dalam beristi’ânah (meminta pertolongan) kepada Allâh dalam menyingkirkan keinginan-keinginan rusak dari dalam hati. Sehingga dengan demikian, semoga Allâh menjernihkan keimanan seorang hamba dari noda dan menegakkan tauhidnya. [10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ؟ قَالَ: الرّيِاَءُ، يَقُوْلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَصْحَابِ ذَلِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَازَى النَّاسَ: اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً؟! رواه أحمد وغيره
Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan bagi diri kalian adalah syirik asghar. Para Sahabat bertanya: Apakah syirik asghar itu? Beliau menjawab : Riyâˈ. Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para pelaku riyâˈ itu pada hari kiamat ketika Dia telah membagi-bagi balasan kepada manusia: Pergilah kalian menuju orang-orang yang kalian berpamer kepada mereka di dunia. Perhatikanlah, apakah kalian akan mendapatkan balasan dari mereka? [HR. Ahmad dan lainnya][11]
Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan larangan riyâˈ.
Demikianlah kesimpulan secara garis besar apabila yang dimaksud dengan beramal untuk tujuan dunia adalah riyâˈ atau sum’ah atau pujian orang.
Namun apabila yang dimaksud adalah selain riyâˈ atau sum’ah atau pujian orang, misalnya melakukan amal-amal ibadah atau amal shaleh, tetapi motivasinya untuk memperoleh balasan dunia seperti upah, kedudukan dan sebangsanya, maka juga terdapat beberapa princian.
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Apabila kehendak seseorang (ketika beramal shaleh atau beribadah) seluruhnya tercurah untuk maksud dunia ini, sama sekali tidak menghendaki wajah Allâh, ridha-Nya dan kehidupan akhirat, maka orang ini tidak akan memperoleh bagian kebaikan sedikitpun di akhirat.
Tetapi perbuatan seperti ini tidak akan dilakukan oleh seorang Mukmin, karena seorang Mukmin betapapun lemah imannya, pasti dia menginginkan Allâh Azza wa Jalla dan kehidupan akhirat.
Apabila seseorang melakukan amal perbuatan karena Allâh Azza wa Jalla dan juga karena dunia, sedangkan kedua maksud itu berimbang atau kurang lebih sama, maka apabila ia Mukmin, berarti ia adalah orang yang lemah iman, tauhid dan keikhlasannya. Nilai amal perbuatannyapun berkurang karena kehilangan kesempurnaan keikhlasan.
Adapun orang yang ikhlas beramal hanya karena Allâh saja dan keikhlasannya sempurna, namun kemudian ia mengambil upah dari amal perbuatannya, yang dengan upah itu ia pergunakan pula untuk beribadah dan untuk kepentingan agama, maka hal ini tidak mengandung bahaya apa-apa terhadap keutuhan keimanannya. Misalnya upah yang digunakan untuk kebaikan sosial. Atau seperti seorang mujahid yang kemudian mendapat ghanimah atau rezeki, atau seperti mendapat harta wakaf yang didigunakan untuk masjid, sekolah, atau untuk orang-orang yang melakukan tugas-tugas agama. Sebab dengan tindakannya, orang ini tidak meliliki kehendak dunia, tetapi hanya mengharapkan kebaikan bagi agama dan hal-hal yang dapat membantunya untuk melaksanakan kewajiban agama.[12]
Jadi, orang yang beramal karena tujuan dunia, secara umum sangat berbahaya bagi nilai amalnya, kecuali jika yang dimaksudkan adalah sebagaimana keterangan terakhir di atas.
Kesimpulannya, melakukan amal shaleh untuk kepentingan dunia tanpa dimaksudkan untuk kepentingan akhirat sedikitpun, hanyalah tindakan orang yang tidak beriman. Sementara jika memiliki tujuan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , tetapi berbareng dengan itu memiliki tujuan duniawi, akan bisa mengurangi nilai amalan yang dilakukannya, dan menjadi pertanda lemahnya iman pelakunya. Wallahu a’lam.
MARAJI’
Tafsir Ibnu Katsir
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di
Shahîh al-Bukhâri dalam Fathu al-Bâri (standar)
Musnad Imâm Ahmad, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I, 1416 H/1995 M. Syarh (tahqîq): Hamzah Ahmad az-Zain
Al-Mu’jam al-Kabîr, Imam ath-Thabrâni. Tahqîq: Hamdî ‘Abdul Majîd as-Salafi, Muˈassasah ar-Rayyân & Maktabah al-Ashâlah wa at-Turâts, I, 1431 H/2010 M
Silsilah Shahîhah, Syaikh al-Albâni rahimahullah
Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb, tahqîq: Dr. Al-Walîd bin ‘Abdur-Rahmân Âl-Fariyyân, Dâr ‘Âlam al-Fawâˈid, VI, 1420 H.
Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât Manhaj Ahlis Sunnah seri 13, Penerbit: Dâr al-Wathan li an-Nasyr, I, Rajab 1412 H
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Lihat Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb, tahqîq: Dr. Al-Walîd bin ‘Abdur-Rahmân Âl-Fariyyân, Dâr ‘Âlam al-Fawâˈid, cet. VI, 1420 H, II/625, Bâb Min asy-Syirki: Irâdatul Insân bi ‘Amalihi ad-Dun-yâ.
[2] Tafsîr Ibnu Katsîr, Qur’an surat. Hûd : 15-16
[3] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Qur’an surat. Hûd : 15
[4] Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. II/626 dengan bahasa bebas.
[5] Ibid. Lihat pula Tafsîr Ibnu Katsîr, Qur’an surat. Hûd : 15-16.
[6] Shahîh al-Bukhâri dalam Fathu al-Bâri VI/81, no. 2887
[7] Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. II/631 dengan bahasa bebas.
[8] Ibid, II/632
[9] Ibid, II/625 dengan bahasa ringkas dan bebas.
[10] Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât Manhaj Ahlis Sunnah seri 13, Penerbit: Dâr al-Wathan li an-Nasyr, cet. I, Rajab 1412 H, Bâb Mâ Jâˈa fi ar-Riyâˈ, hal. 128. Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât
[11] Lihat Silsilah Shahîhah, Syaikh al-Albâni rahimahullah , no. 951, II/634-635. Lihat pula Musnad Imâm Ahmad, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I, 1416 H/1995 M. Hadîts Mahmûd bin Labîd, VXII/61, Syarh (tahqîq): Hamzah Ahmad az-Zain, no. 23526. Juga Al-Mu’jam al-Kabîr, Imam ath-Thabrâni. Tahqîq: Hamdî ‘Abdul Majîd as-Salafi, Muˈassasah ar-Rayyân & Maktabah al-Ashâlah wa at-Turâts, cet. I, 1431 H/2010 M, IV/1085, Mahmûd bin Labîd al-Anshâri ‘An Râfi’ bin Khudaij, no. 4301.
[12] Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. 129
0 comments:
Post a Comment