Oleh Prof. Dr Abdur Razzaq al-Abbad
Islam merupakan agama agung, yang dibangun di atas pondasi pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungan terhadap syariat-Nya dan Rasul-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allâh). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allâh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati [Al-Hajj/ 22: 32]
Apabila pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla di dalam hati seseorang menguat, maka ia akan tunduk, patuh, berserah diri dan taat. Namun apabila pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla hilang dari hati seorang hamba, maka ia akan membangkang kepada agama ini, bahkan ia akan berubah menjadi seseorang yang suka mencibir, mencela, dan menghinakan (agama ini). Dengan ini, tersingkap sudah penyebab hilangnya rasa hormat dari sebagian orang terhadap agama ini.
Sungguh, kita tidak pernah membayangkan akan adanya seseorang di negeri Islam yang berani menulis perkataan yang mengandung penghinaan terhadap Allâh Azza wa Jalla , atau celaan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun penistaan terhadap sebagian dari syariat Allâh Azza wa Jalla . Akan tetapi, jika pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla telah sirna dari hati seseorang, ia tak segan lagi untuk melakukan hal-hal yang sangat aneh dan tidak masuk akal tersebut. Sebab, kebaikan dan keselamatan seseorang tergantung dari kebaikan dan kesucian hatinya. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Ketahuilah! Sesungguhnya di dalam hati itu terdapat segumpal daging. Bila ia baik, maka akan baik pula seluruh tubuhnya. Namun bila segumpal daging ini rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itu adalah hati.[1]
Sesungguhnya menjadikan Allâh Azza wa Jalla , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau sebagian dari syariat Islam dan hukum-hukumnya sebagai bahan senda gurau, merupakan bentuk kemurtadan dari Islam, dan bentuk kejahatan keji serta musibah besar yang tidak akan dilakukan oleh hati yang beriman. Karena penistaan terhadap agama merupakan bukti kekufuran dan hilangnya keimanan orang yang melakukannya.
Maka barangsiapa yang berani mencela –walau sedikit-:
nama-nama Allâh yang maha indah
sifat-sifat-Nya yang maha mulia
perbuatan-perbuatan-Nya yang penuh keagungan, atau
mencela sebagian ayat-Nya, seperti orang yang mencela satu surat atau ayat dalam al-Quran, atau
mencela Rasul-Nya n , sifat-sifat, akhlaq, dan sunnah-sunnahnya, atau
mencela sebagian dari syariat yang dibawanya; seperti mencela shalat, haji dan puasa, atau mencela perintah maupun larangan dalam syariat Islam, seperti mencela pengharaman riba, zina, minuman keras dan lainnya, atau mencela hal-hal yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan berupa balasan dari amalan-amalan hamba di dunia, seperti surga dan neraka serta balasan-balasan yang lainya.
Maka semua bentuk celaan dan penistaan tersebut merupakan kekufuran kepada Allâh dan membatalkan keislaman seseorang. Ini berdasarkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [At-Taubah/ 9: 65-66].
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang artinya “kalian telah kafir setelah beriman” maknanya adalah: bahwa orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut (yang mengandung penistaan terhadap agama), mereka telah kafir disebabkan perkataan tersebut, setelah sebelumnya mereka termasuk orang-orang yang beriman. Ini Allâh tunjukkan dalam firman-Nya yang artinya: “kalian telah kafir setelah beriman” yaitu telah kafir dikarenakan senda gurau kalian terhadap Allâh dan Rasul-Nya.
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan dalam kitab Tafsirnya sebuah riwayat yang di sandarkan kebada Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu beliau berkata: Pada suatu perbincangan di saat perang tabuk, ada seseorang yang berkata, “Kami tidak pernah melihat orang yang seperti mereka para pembaca al-Quran kami, mereka orang yang paling rakus perutnya, paling pendusta serta paling pengecut ketika bertemu dengan musuh!” Maka berkatalah salah seorang yang berada di majlis tersebut, “Engkau berdusta, bahkan engkau adalah orang yang munafiq! Sungguh akan aku kabarkan hal ini kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Maka pergilah orang ini kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan kejadian tersebut, namun ia mendapati bahwa Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan ayat al-Quran kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan hal tersebut. Kemudian datanglah orang tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta maaf atas perbuatannya. Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata : “Aku melihat orang tersebut bergelantungan pada tali pengikat pelana unta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sembari berkata, “Sungguh, kami hanyalah bermain-main dan bersenda gurau belaka.” Sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Apakan dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian bersendau gurau? Janganlah kalian beralasan, kalian telah kafir setelah beriman!”
Dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Janganlah kalian beralasan, sungguh kalian telah kafir setelah beriman” terdapat dalil bahwa orang yang mengucapkan perkataan tersebut sebelumnya adalah orang yang beriman, namun ia berubah menjadi kafir (murtad) disebabkan perkataannya tersebut. Hal ini menjelaskan kepada kita maksud dari sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertera dalam shahîh al-Bukhârî dan lainnya, yaitu sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allâh sedangkan ia memandangnya suatu hal yang sepele, namun dikarenakan hal tersebut ia terperosok di neraka Jahannam. [HR. Al-Bukhârî]
Dan dengan adanya virus seperti ini, serta munculnya berbagai macam perkataan yang mengandung penghinaan terhadap agama, yang ditulis oleh orang-orang yang mereka itu anak bangsa kita, anak-anak kaum Muslimin, yang hidup dan tumbuh di lingkungan Islam; maka semakin besar tanggung jawab dan kewajiban kita untuk menjaga anak-anak kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [At-Tahrîm/ 66: 6]
Sungguh ini adalah bahaya besar yang menyerang anak-anak kaum Muslimin dari berbagai penjuru melalui berbagai media yang terbuka lebar, sehingga mendatangkan musibah besar dan keburukan yang begitu parah tersebar di sekitar kita.
Seorang anak yang lemah ilmu dan akidahnya, ketika duduk di hadapan chanel-chanel parabola (atau televisi) yang penuh dengan racun, serta berbagai website internet yang penuh dengan virus pikiran yang membahayakan, dia akan membaca dan mendengarkan dari berbagai media, kemudian terjadilah pembangkangan dan kerusakan pada kaum Muslimin. Dan hal ini menuntut kita semua untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga diri kita serta putra-putri kita dengan membentengi mereka melalui akidah yang lurus, keimanan yang kokoh dan juga memperkuat hubungan dengan Allâh Azza wa Jalla.
Kita juga memperingatkan mereka dari website-website dan chanel-chanel yang menyebarkan berbagai virus, hal-hal yang melanggar susila, kekufuran dan berbagai penyimpangan pemikiran dalam aqidah. Demikian juga wajib bagi kita untuk selalu bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap diri kita, keluarga dan anak-anak kita, serta bersungguh-sungguh dalam memelihara dan menjaga mereka agar terhindar dari penyakit-penyakit dan musibah yang besar tersebut. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isrâ’ / 17: 36]
Dan barang siapa yang selalu mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hatinya, maka hal itu akan menjadikan ia berhati-hati dalam menjaganya serta menjauhkannya dari semua yang dimurkai oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Karena sesungguhnya panca indra yang berupa pendengaran, penglihatan dan lainnya memiliki keburukan-keburukan, dan jalan untuk selamat darinya adalah dengan selalu merasa takut kepada Allâh dan kembali kepada-Nya serta melakukan usaha-usaha yang bisa menghindarkan dari semua yang dapat menuai murka Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan Allâh Dialah Sang Penjaga para hamba-Nya dan Pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, hanya Dia semata; tidak ada sekutu baginya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1438H/2016M. ]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri no 52, Muslim no 1599 dari An-Nu’mân Bin Basyîr Radhiyallahu anhu.
0 comments:
Post a Comment