Agama Islam mengajak manusia kepada persatuan, berkumpul di atas kebenaran, berpijak kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Agama Islam memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dan melarang tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan [Al-Mâ`idah/5:2]
Islam melarang perpecahan dan berkelompok-kelompok yang masing-masing berbangga dengan golongannya.
Persatuan yang dikehendaki dalam agama Islam adalah kesatuan dalam akidah, manhaj, dan berpegang teguh kepada al-Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Persatuan yang dimaksud bukan sekedar persatuan badan atau perkumpulan, tetapi lebih ditekankan kepada persatuan hati dalam berakidah dan menjalani hidup ini sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Jangan membuat persatuan dan perkumpulan yang membawa kepada perpecahan, yang pada hakikanya adalah persatuan yang semu seperti orang Yahudi yang Allâh sebutkan dalam al-Qur`an:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah [Al-Hasyr/59:14]
Dalam mengajak manusia kepada persatuan dan berpegang teguh kepada agama Allâh Azza wa Jalla itu wajib ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena tidak mungkin manusia bersatu tanpa melarang mereka dari perbuatan syirik, bid’ah, maksiat dan penyimpangan lainnya. Jadi persatuan yang dikehendaki dalam agama Islam adalah persatuan di atas akidah dan manhaj serta berpegang teguh kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafus shalih dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang mereka dari berpecah belah, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imrân/3:103]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menafsirkan ayat ini:
Firman Allâh, “Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai,” Ada yang berpendapat bahwa “kepada tali Allâh” berarti kepada janji Allâh, sebagaimana firman Allâh pada ayat setelahnya:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allâh dan tali (perjanjian) dengan manusia [Ali ‘Imrân/3:112]
Yakni dengan perjanjian dan perlindungan. Ada yang berpendapat, “(berpegang) Kepada tali Allâh itu maksudnya adalah (berpegang) kepada al-Qur`an, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ali z tentang sifat al-Qur`an,
هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنِ، وَصِرَاطُهُ الْمُسْتَقِيْمُ
Al-Qur`an itu adalah tali Allâh yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus
Firman-Nya, yang artinya, “dan janganlah kamu bercerai berai,” Allâh memerintahkan mereka untuk bersatu dengan jama’ah dan melarang berpecah belah.
Banyak hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perpecahan dan menyuruh untuk menjalin persatuan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا: يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا، وَأَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ.
Sesungguhnya Allâh meridhai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridhai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, berpegang teguh pada tali Allâh dan tidak bercerai berai dan memberi nasehat kepada ulil amri (pemimpin) yang mengurus urusan kalian. Dan Allâh membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara (menyampaikan perkataan tanpa mengetahui kebenarannya-pent), menyia-nyiakan harta (berlebihan, boros), dan banyak bertanya (yang tidak penting-pent).”[1]
Dan mereka (kaum Muslimin jika bersatu) telah diberikan jaminan perlindungan dari kesalahan ketika mereka bersepakat. Sebagaimana hal itu telah disebutkan pula dalam banyak hadits.
Dan yang dikhawatirkan terhadap mereka adalah akan terjadi juga perpecahan dan perselisihan. Dan ternyata hal itu memang terjadi pada ummat ini, di mana mereka terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari semua golongan tersebut, terdapat satu golongan yang selamat masuk ke Surga serta selamat dari adzab Neraka, mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Firman-Nya:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Konteks ayat ini berkenaan dengan kaum Aus dan Khazraj. Sebab pada masa jahiliyyah, di antara mereka telah terjadi banyak peperangan, permusuhan yang parah, rasa dengki dan dendam.
Maka ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan Islam, di antara mereka pun memeluknya, sehingga mereka jadi bersaudara dan saling mencintai karena Allâh Azza wa Jalla , saling menjaga hubungan dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ ﴿٦٢﴾ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
… Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia (Allâh) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allâh telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Anfâl/8:62-63]
Mereka sebelumnya berada di tepi jurang neraka disebabkan oleh kekufuran, lalu Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan mereka dengan memberikan hidayah untuk beriman. Mereka diberi kelebihan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari pembagian harta rampasan perang Hunain, lalu salah seorang di antara mereka mencela Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Beliau melebihkan yang lain dalam pembagian sesuai dengan yang ditunjukkan Allâh kepada Beliau.
Mengetahui ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada mereka, “Wahai kaum Anshar! Bukankah aku telah mendapati kalian dalam kesesatan, lalu Allâh memberikan petunjuk kepada kalian melalui diriku. Kalian sebelumnya terpecah belah, kemudian Allâh Azza wa Jalla menyatukan hati kalian melalui diriku. Dan kalian miskin, lalu Allâh Azza wa Jalla menjadikan kalian kaya juga melalui diriku.”
Setiap kali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatu, mereka berucap, “Allâh dan Rasul-Nya lebih dermawan.” [HR. Al-Bukhari dan Imam Ahmad][2]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat.” [Ali ‘Imrân/3:105]
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿٣١﴾ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
… Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allâh, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar-Rûm/30:31-32]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Berjama’ah (bersatu) adalah rahmat sedangkan berpecah-belah adalah adzab[3]
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, bukan persatuan semu dan sesat. Ahlus Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah belah persatuan kaum Muslimin. Persatuan yang dikehendaki ialah persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka. Bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.[4]
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury rahimahullah mengatakan, “Al-Hizb secara bahasa adalah: ‘Golongan atau kumpulan manusia, berkumpulnya manusia karena ada sifat yang sama atau kemaslahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan akidah dan iman atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air atau (ikatan) nasab atau keturunan, pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan itu berupa ikatan-ikatan, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia mereka berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.
Bukanlah sesuatu yang tidak tersembunyi bagi seseorang yang berakal bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran intern dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi kelompok (hizb). Meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang.
Undang-undang tersebut kedudukannya sebagai asas, menjadi dasar sistem pengorganisasian hizb, dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut. Barangsiapa percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh dengan istilah lain: dia mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut, maka ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju atau menolak, maka ia tidak termasuk anggota hizb. Jadi, undang-undang itu menjadi asas wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.
Atas pertimbangan yang demikian maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb, yaitu hizb Allâh dan hizb syaitan, yang menang dan yang kalah, yang Muslim dan yang kafir. Orang yang memasukkan hizb-hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) ke dalam hizb Allâh, maka dia telah merobek-robek hizb Allâh, memecah belah kalimat Allâh Azza wa Jalla .
Seorang Muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit yang telah melemahkan hizb Allâh, dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok atau golongan atau jama’ah supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allâh.[5]
AHLUS SUNNAH MENGAJAK KAUM MUSLIMIN KEPADA PERSATUAN DI ATAS SUNNAH.
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla , kebaikan dan kekuatan. Dan jika mereka berselisih, yang terjadi adalah kelemahan, kekalahan, dan kehancuran.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allâh beserta orang-orang sabar.” [Al-Anfâl/8:46]
Namun wajib diketahui bahwa persatuan itu dibangun di atas ittiba’ (ketaatan) kepada as-Sunnah bukan di atas bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-shirath al-mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allâh (al-Qur-an) dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Sunnahnya) dengan pemahaman Salafush Shalih.
Ahlus Sunnah menyerukan persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan.
Ahlus Sunnah menyeru ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Adapun partai-partai, kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah, ini merupakan penyebab timbulnya perpecahan dan fitnah (pertikaian). Bai’at hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif) atau kepada seorang Muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.
Ahlus Sunnah berpendapat tentang hadits:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa mati sementara ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah.[6]
Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.”[7] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas. Beliau (Imam Ahmad) menjawab, “Yang dimaksud dengan Imam adalah yang kaum Muslimin seluruhnya berkumpul untuk membai’atnya, itu adalah Imam dan demikianlah makna hadits ini.” Tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[8]
Al-Katsiri dalam kitabnya, Faidhul Bâri berkata, “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianggap bai’at yang sah adalah yang dibai’at oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan Imam sampai dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi.”[9] Jadi ancaman tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada imam yang berkumpul padanya seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) adalah bai’at yang bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذٰلِكَ.
… Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin.” Kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.”[10]
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.]
_______
Footnote
[1] HR. Muslim (no. 1715) dan Ahmad (II/ 367).
[2] Tafsir Ibnu Katsiir (II/89-90), tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. Dar Thaybah.
[3] HR. Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 93), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 667).
[4] Lafazh hizb ada beberapa makna ditinjau dari aspek bahasa, al-Fairuz Abadi dalam Bashâiru Dzawit Tamyîzi (II/457) mengatakan: “Al-hizb adalah kelompok (golongan). Al-Ahzâb adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para Nabi. Sedangkan dalam al-Qur-an terdapat beberapa sudut pandang:
Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Ar-Rûm/30: 32)
Bermakna tentara syaithan. (Al-Mujâdilah/58: 19)
Bermakna tentara Allâh. (Al-Mujâdilah/58: 22), adapun tentara Allâh, maka mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (Al-Mâ-idah/5: 56) Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung. (Al-Mujâdilah/58: 22)
[5] Lihat ad-Da’wah ilallâh bainat Tajammu’ al-Hizbi wat Ta’âwun asy-Syar’i, hlm. 53-55 oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.
[6] HR. Muslim (no. 1851) dan al-Baihaqi (VIII/156) dari Sahabat Ibnu ‘Umar c.
[7] Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 984).
[8] As-Sirâjul Wahhâj fii Bayânil Minhâj (no. 181), oleh Abul Hasan Mushthafa bin Isma’il as-Sulaimani al-Mishri, cet. I/Maktabah al-Furqan, th. 1420 H.
[9] Faidhul Bâri (IV/59), dikutip dari Nashîhah Dzahabiyyah ilal Jamâ’aatil Islâmiyyah (hlm. 10) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar ar-Raayah, th. 1410 H.
[10] HR. Al-Bukhari (no. 7084) dalam Kitaabul Fitan bab Kaifal Amr idzaa Lam Takun Jamaa’ah (bab: Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila Tidak Ada Jama’ah), Muslim (no. 1847) dalam Kitaabul Imaarah bab Wujuub Mulaazamah Jamaa’atil Muslimiin ‘inda Zhuhuuril Fitan wa fi Kulli Haal wa Tahriimil Khuruuj ‘alath Thaa’ati wa Mufaaraqatil Jamaa’ah (bab: Keharusan Mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah dalam Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat kepada Ulil Amri) dan Meninggalkan Jama’ah).