فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu
sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An-Nisaa:
65)Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada
Rasul dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih di dalam suatu
perkara (apapun) maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, jika
kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama dan lebih baik
akibatnya” (QS. An-Nisaa: 59)Menjadikan syariat sebagai hakim, berhukum (mengangkat perkara) kepadanya serta memiliki keinginan yang kuat untuk menjadikan seluruh perkara tunduk kepadanya, adalah sifat yang nampak dan tanda yang membedakan antara seorang muslim yang bersemangat untuk mengikuti kebenaran. Berbeda dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga sesat dan menyesatkan, meskipun hawa nafsu itu disebut dengan akal, perasaan, maslahat, imam, partai, peraturan organisasi, dan seterusnya.
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
0 comments:
Post a Comment