Bagian yang paling penting pada diri manusia ialah hatinya. Karena hati manusia dapat mengenal Allah Ta’ala dan beramal karena-Nya. Demikian juga hati ibarat raja, sedangkan anggota badan lainnya sebagai pengikut dan pelayannya. Anggota badan melayani hati sebagaimana rakyat melayani raja.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hati dikhususkan dengan ini karena ia merupakan pemimpin badan. Dengan kebaikan pemimpin merupakan kebaikan rakyat, dan dengan kerusakan pemimpin merupakan kerusakan rakyat. Dan di dalam hadits ini terdapat peringatan tentang pengagungan kedudukan hati, serta anjuran terhadap kebaikannya. Juga mengisyaratkan bahwa usaha yang baik memiliki pengaruh pada hati“.[2]
Hendaklah kita mengetahui bahwa tabiat hati manusia ialah mengenal Rabbnya dan dapat menerima petunjuk-Nya. Namun hati manusia juga memiliki syahwat (kesukaan) dan hawa nafsu yang menjauhkan dari petunjuk. Oleh karena itu, hawa-nafsu ini perlu dikendalikan dan dikuasai agar tidak menjerumuskan pemilikinya ke dalam kecelakaan dan kehinaan. Allah Ta’ala berfirman:
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Qs an-Nazi’ât/79:37-41).
Hati ibarat benteng, sedangkan setan merupakan musuh yang hendak memasuki dan menguasainya. Tidak mungkin menjaga benteng itu, kecuali hanya dengan menjaga pintu-pintu masuknya. Dan orang yang tidak mengetahui pintu-pintu itu, maka tidak mungkin ia dapat menjaganya. Demikian juga, kita tidak mungkin mencegah setan memasuki hati kecuali dengan mengetahui pintu-pintu masuk setan dan menjaganya.
PINTU-PINTU MASUK SETAN
Pintu-pintu masuk setan ke dalam hati manusia meliputi sifat-sifat buruk pada diri manusia. Di antara pintu-pintu itu, ialah sifat hasad. Yaitu tidak menyukai kenikmatan yang ada pada orang lain, dan ia mengharapkan hilangnya kenikmatan itu dari orang tersebut, baik berpindah kepada dirinya ataupun tidak.[3] Jika setan menemui orang yang memiliki sifat hasad, maka ia memiliki kesempatan untuk menyesatkannya.
Menurut Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hasad (dengki) adalah dosa iblis. Dahulu, iblis hasad kepada Adam ‘alihis salam , ketika ia melihat Adam ‘alaihis salam melebihi para malaikat. Yaitu Allah ‘Azza wa jalla telah menciptakan Adam ‘alaihis salam dengan tangan-Nya, memerintahkan para malaikat bersujud kepadanya, mengajarinya nama-nama segala sesuatu, dan menempatkannya di dekat-Nya (di surgaNya). Maka iblis laknatullah ‘alaihi pun selalu berusaha mengeluarkan Adam ‘alaihis salam dari surga, sampai ia berhasil mengeluarkannya darinya.[4]
Hasad juga merupakan sifat orang-orang Yahudi. Allah Ta’ala telah menyebutkan hal ini di beberapa tempat dalam al-Qur’ân. Antara lain dalam firman-Nya:
Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs al-Baqarah/2:109).
Penyakit hasad ini telah menjalar dan menular menimpa sebagian umat Muhammad n , sebagaimana telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ الْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ لَا أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعَرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثَبِّتُ ذَاكُمْ لَكُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Akan menjalar dengan samar kepada kamu penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu hasad dan kebencian (permusuhan) Kebencian itu pencukur, aku tidak mengatakan: itu mencukur/memotong rambut, tetapi mencukur agama. Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman sehingga kamu saling mencintai. Tidakkah aku beritakan kepada kamu dengan perkara yang menguatkan kecintaan bagi kamu? Sebarkan salam di antara kamu! [5]
Di antara pintu setan ialah hirsh (tamak). Yaitu sangat mencintai dan mengharapkan sesuatu dari urusan dunia. Jika setan menemui orang yang tamak terhadap dunia, maka dia akan menghias-hiasi segala perkara yang akan mengantarkannya kepada syahwatnya itu, walaupun perkara itu merupakan kemungkaran dan kekejian.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Anak Adam menjadi tua, namun dua perkara menjadi besar bersamanya, cinta harta dan panjang umur”.[6]
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ
Anak Adam menjadi tua, namun dua perkara tetap muda: tamak terhadap harta dan tamak terhadap umur.[7]
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat kesesuaian dan perkataan yang mengagumkan. Yaitu di antara perkara orang yang tua umurnya, sepantasnya harapan-harapannya dan ketamakannya terhadap dunia sudah sirna dengan kebinasaan tubuhnya jika umurnya telah habis, dan tidaklah tertinggal baginya kecuali menanti kematian. Namun ketika perkara itu sebaliknya, maka itu tercela. Ungkapan dengan kata “muda” sebagai isyarat kepada banyaknya ketamakan dan jauhnya angan-angan. Yang demikian ini lebih banyak menghinggapi dan lebih pantas pada diri mereka. Karena umumnya lebih banyak harapan mereka dalam panjangnya umur mereka, serta tetapnya kesenangan dan kenikmatan mereka di dunia”.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat (dalil) dibencinya sikap tamak terhadap panjang umur dan banyak harta, dan hal itu tidaklah terpuji”.
Ulama lain mengatakan, hikmah mengkhususkan dua perkara ini, bahwa perkara yang paling dicintai oleh manusia adalah dirinya sendiri, sehingga ia menginginkan tetapnya dirinya. Karenanya, ia mencintai panjang umur. Dia juga mencintai harta, karena harta termasuk sebab terbesar dalam tetapnya kesehatan, yang pada umumnya panjang umur tumbuh dari kesehatan. Sehingga setiap ia merasa kedekatan habisnya (perkara yang dia cintai) itu, maka menjadi besar kecintaannya kepadanya dan keinginannya di dalam tetapnyai “.[8]
Di antara pintu setan, ialah marah. Yaitu marah karena perkara-perkara dunia. Marah yang demikian inilah yang tercela.[9] Marah akan menghilangkan akal seseorang. Jika seseorang dalam keadaan marah, maka setan akan menyerangnya, menguasainya, lalu mempermainkannya. Dan marah itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan atau perbuatan haram. Seperti mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ n أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah wasiat kepadaku,” Nabi menjawab,”Janganlah engkau marah,” laki-laki tadi mengulangi berulang kali, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tetap) bersabda: “Janganlah engkau marah”.[10]
Jika seseorang marah, maka hendaklah ia menguasai diri dan melawan dirinya agar tidak melampiaskan kemarahannya, sehingga keburukan dari marah itu akan segera reda dan hilang. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Di antara pintu setan, ialah suka membuat berbagai perhiasan yang berlebihan pada rumah, pakaian, kendaraan, perkakas rumah tangga, dan lainnya. Sehingga kesukaan ini mendorong seseorang untuk selalu memperbaiki rumah, menghiasi atapnya dan dindingnya, menata perkakas rumah tangganya, dan lainnya, sehingga dia telah merugikan dirinya dan menghabiskan umurnya untuk perkara itu. Padahal umur merupakan salah satu nikmat Allah yang akan ditanyakan penggunaannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
Telapak kaki anak Adam tidak akan bergeser dari sisi Rabbnya pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang lima (perkara): Tentang umurnya, untuk apa dia telah menghabiskannya; tentang masa mudanya, untuk apa dia telah menggunakannya; tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya, dan untuk apa dia membelanjakannya; dan apa yang telah dia amalkan dari ilmu yang telah dia ketahui.[11]
Di antara pintu setan, ialah kekenyangan, dan ini akan menguatkan syahwat, menyibukkannya dari berbuat taat. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatkan bahwa seburuk-buruk wadah yang dipenuhi oleh manusia adalah perut.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ
Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari pada perut. Manusia mencukupi beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika keinginannya mengalahkannya (untuk menambah makan, Pen.), maka sepertiga (perutnya) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafas.[12]
Di antara pintu setan, yaitu berharap kepada manusia. Seseorang yang berharap kepada manusia lainnya, dia akan melewati batas dalam memuji dan menjilatnya, tidak memerintahkan yang ma’ruf, dan tidak melarang kemungkaran terhadap orang tersebut.
Di antara pintu setan, yaitu tergesa-gesa, tidak berhati-hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالتَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ تَعَالَى
Ketergesaan adalah setan, berhati-hati adalah dari Allah Ta’ala.[13]
Di antara pintu setan, ialah mencintai harta. Kecintaan terhadap harta merupakan perkara yang wajar. Tetapi, jika kecintaan pada harta itu telah menguasai hati, maka hati akan rusak. Hati akan didorong untuk mengejar harta dengan cara yang haram, mengajak kebakhilan, dan menakut-nakuti kemiskinan, sehingga ia meninggalkan kewajibannya terhadap harta.
Allah ‘Azza wa jalla berfirman:
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengatahui. (Qs al-Baqarah/2:268).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan akhir perjalanan harta manusia dengan sabda beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
Seorang hamba berkata: “Hartaku, hartaku,” padahal harta yang dia miliki hanyalah tiga. (Yaitu): yang telah ia makan, lalu dia membinasakannya; yang telah ia pakai, lalu dia menjadikannya usang; yang telah dia berikan (shadaqah karena Allah Ta’ala, Pen.), lalu ia pasti akan memilikinya. Adapun selain itu, maka ia akan pergi dan meninggalkannya untuk manusia (yaitu ahli warisnya, Pen.).[14]
Di antara pintu setan, yaitu menggiring orang-orang awam untuk fanatik kepada guru, madzhab, organisasi, suku, daerah, atau lainnya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَصَرَ قَوْمَهُ عَلَى غَيْرِ الْحَقِّ فَهُوَ كَالْبَعِيرِ الَّذِي رُدِّيَ فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ
Barang siapa menolong kaumnya tidak di atas kebenaran, maka dia seperti onta yang terjerumus, lalu ditarik ekornya.[15]
Al-Khaththabi rahimahullah berkata: “Maknanya, bahwa ia telah terjerumus dalam dosa dan binasa. Yaitu seperti seekor onta, jika terjerumus di dalam sumur, lalu ditarik ekornya, dan ia tidak mampu selamat”.[16]
Di antara pintu setan, yaitu mengajak orang-orang untuk memikirkan Dzat Allah atau membicarakan sifat-sifat Allah tanpa mengikuti jalan Salafush-Shalih, sehingga akan mengantarkan manusia kepada keraguan dan kesesatan. Karena sesungguhnya akal manusia terbatas, dan ia tidak mampu memikirkan Dzat Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِيْ آلاَءِ اللهِ وَ لاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu berfikir tentang (dzat) Allah ‘Azza wa Jalla.[17]
Di antara pintu setan, yaitu berburuk sangka kepada kaum Muslimin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah berita yang paling dusta. Dan janganlah engkau mencari-cari (mendengarkan) berita tentang kejelakan manusia, janganlah engkau menyelidiki cacat-cacat manusia, janganlah engkau saling melakukan tipu daya, janganlah engkau saling hasad, janganlah engkau saling membenci, janganlah engkau saling membelakangi. Jadilah engkau hamba-hamba Allah yang bersaudara.[18]
Sungguh, seseorang yang menghukumi seorang muslim lainnya dengan persangkaan buruk, berarti ia telah merendahkannya, melepaskan kendali lidahnya terhadapnya, dan ia sendiri menganggap dirinya lebih baik darinya. Dan sesungguhnya, tertancapnya buruk sangka pada hati seseorang, ialah karena kekejian orang yang berburuk sangka itu sendiri. Karena seorang mukmin akan mencari alasan-alasan untuk menjaga kebaikan saudaranya sesama mukmin. Sedangkan orang munafik, yaitu orang yang menyelidiki dan mencari-cari keburukan-keburukan orang mukmin. Namun seorang mukmin juga selayaknya menjauhi perkara-perkara yang dapat menyebabkan dirinya mendapat tuduhan buruk sangka, sehingga agama dan kehormatannya terjaga.
Di antara pintu setan, yaitu menakut-nakuti dengan musuh-musuh. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Qs ‘Ali-‘Imran/3:175).
Di antara pintu setan, yaitu membisikan angan-angan palsu dan janji-janji dusta pada jiwa manusia. Allah Ta’alaberfirman:
Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (Qs ‘Ali-‘Imran/3:120).
Adapaun pintu masuk setan yang terbesar, ialah kebodohan terhadap din (agama). Dengan jalan inilah, setan menguasai dan memperdaya banyak manusia, sehingga mereka mengharamkan yang Allah halalkan dan menghalalkan yang Allah haramkan. Demikian juga, disebabkan kebodohan terhadap masalah din, banyak manusia beribadah dengan bid’ah-bid’ah dan perkara-perkara yang bertentangan dengan Islam.
Dari keterangan ini semua, maka seorang mukmin hendaklah benar-benar waspada terhadap tipu daya setan. Jangan sampai dirinya terseret oleh setan, yang tanpa disadarinya menuju kesesatan. Semoga Allah k memberikan perlindungan-Nya kepada kita.
TUTUPLAH PINTU-PINTU MASUK SETAN!
Demikian sebagian dari pintu-pintu, jalan masuk setan ke dalam hati manusia. Upaya solusi dari semua ini, ialah dengan menutup pintu-pintu tersebut. Yakni dengan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela.
Meski akar sifat buruk itu telah tercabut dari hati seorang hamba, tetap masih tersisa kemampuan setan dalam menjebak manusia. Yaitu dengan memberikan bisikan-bisikan buruknya, walaupun tidak bisa menetap di dalam hati. Untuk mengusir bisikan-bisikan jahat ini, tidak lain ialah dengan dzikir kepada Allah dan membangun hati dengan takwa.
Perumpamaan setan, ialah ibarat seekor anjing lapar yang mendekatimu. Jika engkau tidak membawa daging dan roti, maka engkau bisa mengusirnya dengan gertakan. Namun jika engkau membawa daging dan roti, sedangkan anjing itu lapar, maka engkau tidak bisa mengusirnya hanya dengan ucapan. Demikian juga hati yang kosong dari makanan setan, maka ia akan segera pergi dengan dzikrullah. Adapun hati yang dikuasai oleh hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan mengangkat dzikir ke permukaan hati, sehingga setan akan menetap di lubuk hatinya.
Jika engkau ingin mengetahui bukti dalam hal ini, maka perhatikan di dalam shalatmu. Bagaimana ketika engkau mengerjakan shalat, dengan lembutnya setan membisikkan dalam hatimu masalah-masalah duniawi, tentang pekerjaan, keuntungan perdagangan, dan semacamnya.
Hendaklah kita ketahui bahwa keburukan yang terjadi pada hati, jika hanya berupa lintasan fikiran, pembicaraan dan angan-angan, maka hal ini dimaafkan. Jika seseorang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka ia mendapatkan pahala karenanya. Jika ia meninggalkannya karena ada penghalangnya, maka kita berharap semoga Allah l memaafkannya juga. Namun jika keburukan itu merupakan niat dan tekad, maka tekad melakukan dosa merupakan dosa! Bagaimana tidak berdosa, bukankah kesombongan, riya`, dan ‘ujub merupakan perkara batin?
Dari itu semua, kita mengetahui betapa penting membekali diri dengan ilmu syar’i. Karena ia merupakan unsur paling utama untuk menolak setan. Setiap bertambah ilmu yang bermanfaat pada seorang hamba, yang dengan itu menjadikan dirinya takut dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, maka akan bertambah keselamatan dirinya dari bisikan dan jeratan setan. Dan hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.
MARÂJI':
- Al-Qur’ânul Karim.
- Fathul Bari Syarh Shahîh Bukhâri, karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah.
- Ma’alamim fis-Suluk wat-Tazkiyatin-Nufus, Darul-Wathan, Cetakan Pertama, Th. 1414 H, hlm. 76-78.
- Mukhtashar Minhajil-Qashidin, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Ta’liq dan Takhrij: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabihafidhahullah, Dar ‘Ammar, Cetakan Kedua, Th. 1415 H / 1994 M, hlm. 193-196.
- Kitab Sunan Empat, dan lain-lain.
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Catatan Kaki:
[1] HR Imam al-Bukhâri, no. 52, 2051; Muslim, no. 1599; dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu
[2] Fathul-Bari, syarah hadits no. 52.
[3] Lihat Mu’jamul-Wasith, Bab: Hasada.
[4] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bajis, Muasasah ar-Risalah (2/260).
[5] HR at-Tirmidzi, no. 2510, dari az-Zubair bin al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah.
[6] HR Imam al-Bukhâri, no. 6421, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[7] HR Imam Muslim, no. ???? dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[8] Dinukil dari Fathul-Bari, syarh hadits no. 6421.
[9] Lihat Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shâlihin, Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali hafidhahullah (I/112).
[10] HR Imam al-Bukhâri no. 6116.
[11] HR at-Tirmidzi, no. 2416, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah.
[12] HR Ibnu Majah, no. 3349; at-Tirmidzi, no. 2380; dari al-Mikdam bin Ma’di Yakrib. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah.
[13] HR Abu Ya’la dalam Musnad-nya, al-Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. LihatSilsilah ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah, no. 1795.
[14] HR Imam Muslim, no. 2959, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[15] HR Abu Dawud, no. 5117. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah.
[16] ‘Aunul-Ma’bud, hadits no. 5117.
[18] HR Bukhâri, no. 6066, Imam Muslim no. 2563, dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
0 comments:
Post a Comment