Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup ini, di antara mereka ada yang menempuh jalan yang keliru dan justru menjerumuskan mereka kedalam jurang kesengsaraan dan malapetaka, dengan mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu menghiasi keburukan amal perbuatan manusia. Allah berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [Fathir/35:8]
Allah Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta semua makhluk di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan semua itu akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah,”Ya Allah Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan di alam semesta), Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[Ali ‘Imran/3:26].
Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih kebahagiaan hidup adalah orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh dengan petunjuk-Nya. Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya). [Thaha/20:123].
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik/bahagia (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97].
KETENANGAN HIDUP DIRAIH DENGAN MATERI DUNIAWI?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup diraih dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan menggapai kedudukan duniawi setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan sifat materialistis dalam diri mereka. Allah Azza wa Jallaberfirman:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. [ar-Rum/30:7].
Artinya, mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang tampak di mata mereka, sementara mereka melalaikan balasan kebaikan yang kekal abadi di akhirat [1]
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu. Sifat tamak ini, paling tidak akan menyeret mereka kepada dua kerusakan dan keburukan besar:
1. Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan.
2. Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal atau haram.
Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi seorang hamba dan pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar lainnya, jika hamba dia tidak menyadari bahaya ini dan bertobat kepada Allah.
Renungkanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
وَالله ِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ, وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُو وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka [2]
Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya serta kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’aladan balasan di akhirat [3].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً, وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [at-Taghabun/64:15][4].
Dalam dua hadits di atas terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, hendaknya dia mewaspadai bahaya dan fitnah harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam mengejarnya [5].
Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana ini selalu ada pada dirinya?. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang yang memiliki sifat ini akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia mengejar harta benda duniawi dan banyaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal ini dikarenakan secara tabiat, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas dan cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya [6], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[7].
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut dan tanpa memperdulikan cara-cara yang halal atau haram. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.
Imam Ibnul Qayyim berkata:”Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada berakhir [8].
Dalam hal ini, seorang Ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[9].
DAMPAK BURUK DAN BENCANA DARI HARTA YANG HARAM DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup sejati hanya Allah akan anugerahkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini, menjauhi harta haram dan segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Allah enggan memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sengsara) (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan. [Thaha/20:124-126].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, (dengan) berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya, maka baginya penghidupan yang sempit/sengsara, yaitu di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan tidak ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang, berpakaian, makan dan bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan keraguan, karena dirinya jauh dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].
Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya, bahkan ini justru akan membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan ‘penghidupan yang sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul haram (penghasilan/harta yang haram)[11], yang menandakan bahwa harta haram merupakan salah satu faktor utama yang menjadikan manusia selalu ditimpa bencana dan kesulitan dalam hidupnya.
Imam Ibnul Jauzi menukil ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau berkata:”Penghidupan yang sempit (artinya) disempitkan baginya pintu-pintu kebaikan (penghasilan yang halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada kebaikan dan dia mempunyai pengahasilan yang haram sebagai usahanya”.
Semakna dengan itu, Imam adh-Dhahhak dan ‘Ikrimah berkata, “Penghidupan yang sempit ini yaitu al-kasbul khabits (usaha/penghasilan yang buruk/haram)[12].
Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang didapatkan dengan cara haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
1. Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allah dan mengikuti langkah-langkah setat/Iblis. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169].
Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengahalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram.[13]
2. Ancaman adzab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya”[14]
3. Mengkonsumsi harta haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allah : Wahai Rabb, wahai Rabb..., lalu beliau bersabda:
(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal, pakaiannya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal, maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allah)?[15].
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta yang haram, sehingga dikabulkannya doa tersebut terhalangi.[16].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam petunjuk [al-Baqarah/2:186].
Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Razi [17], mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau: "Janganlah sekali-kali kamu merasa (permohonanmu) terlalu lama tidak dikabulkan ketika kamu berdoa (kepada Allah), karena sungguh kamu (sendiri) yang telah menutup pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu".[18].
Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah? Bukankah setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia maupun agama? Lalu siapakah yang dapat memenuhi kebutuhan dan memudahkan urusannya selain Allah? Siapakah yang dapat mengabulkan permohonannya jika Allah berpaling darinya?
Maha benar Allah Azza wa Jalla yang berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [Fathir/35:15]
Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan shalat seorang yang mengkonsumsi harta yang haram tidak diterma oleh Allah. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Allah tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[19].
4. Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Sesungguhnya Allah Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal)”[20].
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Barangsiapa yang menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allah), maka dia seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing, padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[21].
5. Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang dari melakukan amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal merupakan sebab yang memotivasi manusia untuk beramal shaleh.
Allah mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[al-Mukminun/23:51].
Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya amal shaleh tersebut [22].
6. Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla (orang-orang Yahudi). Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. [al-Maidah/5:62]
Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka [23].
7. Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allah Azza wa Jalla kepada masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”Apabila perbuatan zina dan riba telah tampak (tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka telah mengundang azab (dari) Allah untuk menimpa mereka [24].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksia)[25] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ar-Rum/30:41].
Demikian juga firman-Nya:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).[asy-Syura/42:30].
Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, Imam adz-Dzahabi memasukkan perbuatan mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk dosa-dosa yang sangat besar dalam kitab al-Kabair (hlm.118).
HARTA HALAL SEBAB KECUKUPAN, KELAPANGAN HATI DAN KETENANGAN HIDUP
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
اَللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَكَ
Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu [26].
Hadits yang agung ini memuat petunjuk bahwa rezeki yang halal adalah sebab kecukupan dan limpahan karunia dari Allah kepada manusia, dan jika Allah telah mencukupi seorang hamba dengan karunia-Nya maka siapakah yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba tersebut? Allah berfirman yang artinya: Bukankah Allah maka mencukupi hamba-Nya (dalam semua keperluannya)? [az-Zumar/39:36].
Dengan demikian, kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia hanya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk Allah dan mengikuti ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal ini mencukupkan diri dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].
Para Ulama Salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas denga “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya [27].
Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezeki bagi orang yang selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak terkecuali dalam hal mencari penghasilan yang baik dan halal.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. [ath-Thalaq/65:2-3].
Dalam ayat berikutnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalaq/65:4].
Artinya, Allah Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta mengadakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya) [28].
SIFAT QANA’AH (SELALU MERASA CUKUP) ADALAH KEKAYAAN YANG PALING BERHARGA
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menyeret seorang manusia untuk tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu merasa hidup dalam kekurangan dan ketidakbahagiaan, bagaimanapun berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai bencana besar yang selalu menyertai hidupnya.
Renungkanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia berkata,”Kami mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) dihadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[29].
Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati seorang hamba, dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki halal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan sikap ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[30].
Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang terhadap segala ketentuan dan takdir Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Akan merasakan manisnya (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad sebagai rasul-nya”. [HR. Muslim no.34].
Arti "ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[31].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya” [HR. Muslim no.1054].
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia menganugerahkan kepada kita semua rezki yang halal dan menjauhkan kita dari harta yang haram, serta memudahkan kita memiliki sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/560 dan Taisir karimir Rahman halm. 636.
[2]. HSR al-Bukhari no.2988 dan Muslim no.2961.
[3]. Lihat catatan kaki Shahihul Bukhari 3/1152.
[4]. Lihat Faidhul Qadir 2/507.
[5]. Nasehat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam Fathul Bari 11/245.
[6]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 84 – Mawridul AmanI).
[7]. HR. Al-Bukhari no 6075 dan Muslim no.116.
[8]. Ighatsatul Lahfan (hlm. 83-84, Mawaridul Aman).
[9]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).
[10]. Tafsir Ibnu Katsir 3/227.
[11]. Lihat penjelasan Imam Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir 5/331.
[12]. Zadul Masir 5/332.
[13]. Lihat Zadul Msir 1/172 dan Taisir Karimir Rahman hlm.80.
[14]. HR. Ahmad 3/321, ad-Darimi no.2776 dan al-Hakim 4/468, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Ash-Shahihah 6/108.
[15]. HR. Muslim no.1015.
[16]. Lihat Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.105-107.
[17]. Biografi beliau dalam Siyaru A’lamin Nubala 13/15.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1154) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.108.
[19]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.101.
[20]. HR. Muslim no.1015.
[21]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118.
[22]. Lihat Taisirul Karimir Rahman hlm.81.
[23]. HR. Ahmad 2/50 dan Abu Dawud no.4031, berderajat hasan shahih menurut al-Albani.
[24]. HR. Al-Hakim 2/43 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1/178, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir no.679.
[25]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/576.
[26]. HR. Ahmad 1/153, at-Tirmidzi 5/560 dan al-Hakim 4/468. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini berderajat hasan menurut al-Albani. Lihat ash-Sahihah no.266.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/772.
[28]. Tafsir Ibnu Katsir 4/489.
[29]. HR. Ibnu Majah no.4105, Ahmad 5/183, ad-Darimi no.229, Ibnu Hibban no.680 dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits ini berderajat shahih menurut Ibnu Hibban, al-Bushiri dan al-Albani.
[29].HR. Al-Bukhari no.6081 dan Muslim no.120.
[31]. Lihat Fiqhul Asmail Husna hlm.81.
0 comments:
Post a Comment