Kita mungkin banyak menyaksikan realita di sekitar
kita, ketika seorang muslim saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dan
nomor satu dalam masalah dunia. Akan tetapi untuk masalah akhirat, dia sangat
rela ketika orang lain yang menjadi “sang juara”. Hal ini bertolak belakang
dengan seruan Allah Ta’ala
dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
agar setiap muslim saling berlomba dalam ketaatan
dan ketakwaan untuk meraih berbagai kenikmatan di surga.
Islam Mendorong Seseorang untuk Memiliki Semangat dan Motivasi yang Tinggi
Islam adalah agama yang memotivasi agar umatnya
memiliki semangat beramal yang tinggi serta menyibukkan diri dan memperhatikan
masalah-masalah yang penting dan memiliki keutamaan yang agung. Islam juga
menyeru kita untuk menjauhkan diri dari tenggelam ke dalam
permasalahan-permasalahan sepele yang tidak banyak manfaatnya, baik manfaat di
dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Marilah kita merenungkan firman Allah
Ta’ala,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan
bersegaralah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” [QS. Ali Imron (3): 133]
Allah Ta’ala
juga mensifati hamba-hambaNya yang shalih karena
mereka bersegera dalam kebaikan, ketika Allah
Ta’ala berfirman
tentang mereka,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا
رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.”
[QS.Al Anbiyaa' (21):
90]
Begitu pula dengan firman Allah
Ta’ala yang menyeru
kita untuk bersegera dalam kebaikan dan berlomba-lomba untuk dalam mengerjakan
amal shalih yang lainnya. Allah Ta’ala
berfirman,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu
hendaknya manusia
berlomba-lomba“.
[QS. Al Muthaffifin (83): 26]
Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullah
berkata,”Ketika para shahabat radhiyallahu
‘anhum mendengar seruan (yang artinya), ’Berlomba-lombalah dalam mengerjakan
kebaikan!’ (QS. Al Baqarah: 148) dan panggilan (yang artinya),
’Berlomba-lombalah kalian menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi’ (QS. Al Hadid: 21), mereka memahami bahwa yang
dimaksud adalah agar mereka
bersungguh-sungguh sehingga setiap orang dari mereka adalah yang pertama
kali meraih kemuliaan itu.Mereka pun
bersegera untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Jika mereka melihat
saudaranya mampu melakukan suatu amal yang belum mampu dia kerjakan, mereka
khawatir bahwa saudaranya tersebut akan mendahuluinya. Mereka pun bersedih
karena tidak menjadi yang terdepan. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba untuk
meraih derajat akhirat. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Dan untuk yang demikian itu
hendaknya manusia berlomba-lomba.’(QS. Al Mutahaffifin: 26) Kemudian mereka diikuti oleh suatu kaum yang
berkebalikan dari mereka, yaitu kaum yang berlomba-lomba untuk meraih dunia yang
rendah dan kenikmatannya yang segera menghilang.”
[1]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menyeru kita agar memiliki
motivasi yang tinggi dan berlomba-lomba dalam ketaatan dan amal shalih. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا
تَعْجِز
“Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang
bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan
kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap
lemah.” [2]
Dan tidak diragukan lagi, bahwa perkara yang
bermanfaat dalam agama kita ini kembalinya kepada dua hal, yaitu
ilmu yang bermanfaat dan amal
shalih.[3] Jangan
sampai kita menunda-nunda untuk mengerjakan amal shalih sebagaimana peringatan
yang telah disampaikan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Segeralah beramal sebelum datangnya
fitnah-fitnah, seperti potongan-potongan
malam yang gelap gulita. Seseorang paginya beriman, namun sorenya menjadi kafir.
Atau seseorang yang sorenya masih beriman, namun paginya telah kafir. Dia
menjual agamanya dengan tujuan-tujuan dunia.”
[4]
An-Nawawi rahimahullah
berkata ketika menjelaskan hadits
ini, “Makna hadits ini adalah
motivasi untuk segera beramal shalih sebelum mustahil beramal
atau kita disibukkan oleh perkara yang lain, berupa berbagai
masalah yang menyibukkan, banyak, dan bertumpuk-tumpuk sebagaimana
bertumpuk-tumpuknya kegelapan malam jika tanpa diterangi sinar rembulan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendeskripsikan dahsyatnya bahaya tersebut,
sehingga seseorang yang sorenya masih beriman, namun esok paginya sudah kafir,
atau sebaliknya (perawi ragu-ragu terhadap hal ini). Hal ini terjadi karena
dahsyatnya bahaya yang ada, sehingga hati manusia bisa berubah dalam sehari
saja.“ [5]
Seseorang yang tidak menyibukkan dirinya dalam
mengerjakan amal shalih dan ketaatan kepada Allah
Ta’ala, maka bisa
jadi dia akan diuji dengan disibukkan dalam perkara-perkara yang tidak
bermanfaat atau bahkan membahayakan dirinya. Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah
berkata, ”Termasuk
di antara keajaiban takdir dan hikmah ilahiyyah adalah
barangsiapa yang meninggalkan hal-hal yang bermanfaat bagi
dirinya, padahal memungkinkan baginya untuk meraihnya (namun dia tidak mau
berusaha meraihnya), maka dia akan mendapat ujian dengan disibukkan dalam
hal-hal yang membahayakan dirinya. Barangsiapa yang meninggalkan ibadah
kepada Allah, maka dia akan mendapat ujian berupa beribadah kepada berhala.
Barangsiapa yang meninggalkan rasa cinta kepada Allah, takut, dan berharap
kepada-Nya, maka dia akan mendapat ujian dengan mencintai, takut, dan berharap
kepada selain Allah. Barangsiapa yang tidak membelanjakan hartanya dalam
ketaatan kepada Allah, maka dia akan membelanjakannya dalam ketaatan kepada
setan. Barangsiapa yang meninggalkan ketundukan kepada Allah, dia akan mendapat
ujian dengan tunduk kepada hamba-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan
kebenaran, dia akan mendapat ujian dengan terjerumus dalam kebatilan.”
[6]
Apakah Cita-Citamu yang Paling Tinggi?
Ketika ditanya tentang cita-cita, mungkin sebagian
besar di antara kita menjawab dengan menyebutkan berbagai cita-cita yang
berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam hal duniawi pula, sebagian besar di
antara kita berlomba-lomba di dunia ini, entah untuk meraih gelar akademik
tertinggi; berlomba-lomba untuk meraih pangkat, jabatan, atau popularitas; atau
bersaing dalam masalah harta dan kemewahan hidup di dunia. Sedikit di antara
kita yang memposisikan akhirat sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup kita di
dunia ini.
Marilah kita merenungkan tentang cita-cita seorang
shahabat yang mulia, Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslami
radhiyallahu ‘anha
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata
kepadanya,“Wahai Robi’ah, memintalah
kepadaku!” Robi’ah
berkata,“Aku
meminta kepadamu agar aku bisa menemanimu di
surga!” Maka
Rasulullah berkata,“Atau selain hal itu?”
Robi’ah berkata,“Ya,
itu saja.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,“Maka
bantulah aku dengan Engkau memperbanyak sujud.”
[7]
Oleh karena itu, sangat jauhlah perbedaan antara orang
yang cita-citanya tertuju pada makanan, minuman dan syahwat, dengan orang yang
cita-citanya tertuju pada istana di surga! Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
rahimahullah
berkata,”Ketahuilah,
sesungguhnya cita-cita itu ada dua macam, (pertama) cita-cita yang kembalinya
kepada dubur (makanan) dan qubul (seks); dan (ke dua) cita-cita yang terikat
dengan yang berada di atas ‘Arsy, yaitu Allah Ta’ala.”
[8]
Hasan Al-Bashri
rahimahullah
berkata,“Jika Engkau melihat ada
seseorang yang menyaingimu dalam masalah dunia, maka saingilah dia dalam masalah
akhirat.” [9]
Wuhaib bin Warod
rahimahullah
mengatakan,“Jika
Engkau mampu agar tidak ada seorang pun yang mendahuluimu menuju Allah, maka
lakukanlah!” [10]
Niat yang ikhlas dan motivasi yang tinggi hendaknya
menjadi jiwa yang menerangi langkah seorang muslim dalam mengarungi kehidupan di
dunia ini. Sebagaimana seseorang bisa memiliki semangat yang membara untuk
mengejar dunia, maka semangat yang lebih besar dan lebih tinggi harus dimiliki
oleh seorang muslim untuk mengejar akhirat. Siapa saja yang bersungguh-sungguh,
maka dialah yang akan menuai hasilnya karena surga Allah
Ta’ala itu sangat
mahal harganya.
Setiap detik waktu yang dimiliki oleh seorang mukmin
hendaknya diisi dengan semangat, karena dia mengetahui betapa mulianya waktu
tersebut. Barangsiapa yang menginginkan pahala, maka akan terasa ringanlah
segala beban yang dia rasakan. Semakin tinggi cita-cita seseorang, maka segala
rintangan, hambatan, kesulitan, dan keletihan yang dia alami akan terasa sangat
kecil dan ringan. Imam Ahmad rahimahullah
berkata, ”Sungguh
aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku (untuk menuntut ilmu,
pent.).” Dan ketika Imam Ahmad rahimahullah
ditanya,”Kapankah seorang hamba merasakan nikmat istirahat (dari menuntut ilmu
dan beramal, pent.)?, maka beliau rahimahullah menjawab,”Ketika
dia pertama kali menginjakkan kakinya di surga.”
[11]
Semoga tulisan ini dapat melecut semangat kita untuk
menuntut ilmu syar’i dan melaksanakan berbagai amal shalih lainnya secara umum.
[12]
Catatan Kaki:
[1] Lathooiful Ma’aarif,
hal.
428.
[2] HR.
Muslim.
[3] Lihat penjelasan
hadits ini oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
rahimahullah di
Bahjatu Quluubil Abraar,
hal. 42-44.
[4]
HR. Muslim.
[5] Syarh Shahih
Muslim, 1/232.
[6] Taisir
Karimir Rahman, hal. 60-61; ketika beliau
menjelaskan tafsir QS. Al Baqarah (2) ayat 101.
[7] HR. Muslim.
[8] Al Fawaa-id,
karya Ibnul Qoyyim
rahimahullah. Dikutip
dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i,
hal. 16-17.
[9] Lathooiful
Ma’aarif, hal. 428.
[10] Lathooiful
Ma’aarif, hal. 428.
[11] Ar-Roqoo’iq,
karya Muhammad Ar-Rasyid. Dikutip dari
Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i,
hal. 17.
[12] Tulisan ini kami
sarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Tholabil
‘Ilmi Syar’i, Aktsar min 100 Thoriqoh lit Tahammus li Tholabil ‘Ilmi Syar’i
hal. 15-18; dengan sedikit penambahan dari
beberapa referensi lainnya.
—
Penulis: dr.M. Saifudin Hakim, MSc.
0 comments:
Post a Comment