{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Home » » Mendorong Semangat Untuk Menuntut Ilmu Syar’i dan Beramal Shalih

Mendorong Semangat Untuk Menuntut Ilmu Syar’i dan Beramal Shalih

Abu Fathan | 21:50 | 0 comments
Kita mungkin banyak menyaksikan realita di sekitar kita, ketika seorang muslim saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dan nomor satu dalam masalah dunia. Akan tetapi untuk masalah akhirat, dia sangat rela ketika orang lain yang menjadi “sang juara”. Hal ini bertolak belakang dengan seruan Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar setiap muslim saling berlomba dalam ketaatan dan ketakwaan untuk meraih berbagai kenikmatan di surga.

Islam Mendorong Seseorang untuk Memiliki Semangat dan Motivasi yang Tinggi

Islam adalah agama yang memotivasi agar umatnya memiliki semangat beramal yang tinggi serta menyibukkan diri dan memperhatikan masalah-masalah yang penting dan memiliki keutamaan yang agung. Islam juga menyeru kita untuk menjauhkan diri dari tenggelam ke dalam permasalahan-permasalahan sepele yang tidak banyak manfaatnya, baik manfaat di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Marilah kita merenungkan firman Allah Ta’ala,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegaralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali Imron (3): 133]
Allah Ta’ala juga mensifati hamba-hambaNya yang shalih karena mereka bersegera dalam kebaikan, ketika Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” [QS.Al Anbiyaa' (21): 90]
Begitu pula dengan firman Allah Ta’ala yang menyeru kita untuk bersegera dalam kebaikan dan berlomba-lomba untuk dalam mengerjakan amal shalih yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba“. [QS. Al Muthaffifin (83): 26]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata,Ketika para shahabat radhiyallahu ‘anhum mendengar seruan (yang artinya), ’Berlomba-lombalah dalam mengerjakan kebaikan!’ (QS. Al Baqarah: 148) dan panggilan (yang artinya), ’Berlomba-lombalah kalian menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi’ (QS. Al Hadid: 21), mereka memahami bahwa yang dimaksud adalah agar mereka bersungguh-sungguh sehingga setiap orang dari mereka adalah yang pertama kali meraih kemuliaan itu.Mereka pun bersegera untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Jika mereka melihat saudaranya mampu melakukan suatu amal yang belum mampu dia kerjakan, mereka khawatir bahwa saudaranya tersebut akan mendahuluinya. Mereka pun bersedih karena tidak menjadi yang terdepan. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba untuk meraih derajat akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba.’(QS. Al Mutahaffifin: 26) Kemudian mereka diikuti oleh suatu kaum yang berkebalikan dari mereka, yaitu kaum yang berlomba-lomba untuk meraih dunia yang rendah dan kenikmatannya yang segera menghilang.” [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyeru kita agar memiliki motivasi yang tinggi dan berlomba-lomba dalam ketaatan dan amal shalih. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا تَعْجِز

Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah.” [2]

Dan tidak diragukan lagi, bahwa perkara yang bermanfaat dalam agama kita ini kembalinya kepada dua hal, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.[3] Jangan sampai kita menunda-nunda untuk mengerjakan amal shalih sebagaimana peringatan yang telah disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah, seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Seseorang paginya beriman, namun sorenya menjadi kafir. Atau seseorang yang sorenya masih beriman, namun paginya telah kafir. Dia menjual agamanya dengan tujuan-tujuan dunia.” [4]

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,Makna hadits ini adalah motivasi untuk segera beramal shalih sebelum mustahil beramal atau kita disibukkan oleh perkara yang lain, berupa berbagai masalah yang menyibukkan, banyak, dan bertumpuk-tumpuk sebagaimana bertumpuk-tumpuknya kegelapan malam jika tanpa diterangi sinar rembulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendeskripsikan dahsyatnya bahaya tersebut, sehingga seseorang yang sorenya masih beriman, namun esok paginya sudah kafir, atau sebaliknya (perawi ragu-ragu terhadap hal ini). Hal ini terjadi karena dahsyatnya bahaya yang ada, sehingga hati manusia bisa berubah dalam sehari saja.“ [5]
Seseorang yang tidak menyibukkan dirinya dalam mengerjakan amal shalih dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka bisa jadi dia akan diuji dengan disibukkan dalam perkara-perkara yang tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan dirinya. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, Termasuk di antara keajaiban takdir dan hikmah ilahiyyah adalah barangsiapa yang meninggalkan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, padahal memungkinkan baginya untuk meraihnya (namun dia tidak mau berusaha meraihnya), maka dia akan mendapat ujian dengan disibukkan dalam hal-hal yang membahayakan dirinya. Barangsiapa yang meninggalkan ibadah kepada Allah, maka dia akan mendapat ujian berupa beribadah kepada berhala. Barangsiapa yang meninggalkan rasa cinta kepada Allah, takut, dan berharap kepada-Nya, maka dia akan mendapat ujian dengan mencintai, takut, dan berharap kepada selain Allah. Barangsiapa yang tidak membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, maka dia akan membelanjakannya dalam ketaatan kepada setan. Barangsiapa yang meninggalkan ketundukan kepada Allah, dia akan mendapat ujian dengan tunduk kepada hamba-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan kebenaran, dia akan mendapat ujian dengan terjerumus dalam kebatilan.” [6]

Apakah Cita-Citamu yang Paling Tinggi?

Ketika ditanya tentang cita-cita, mungkin sebagian besar di antara kita menjawab dengan menyebutkan berbagai cita-cita yang berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam hal duniawi pula, sebagian besar di antara kita berlomba-lomba di dunia ini, entah untuk meraih gelar akademik tertinggi; berlomba-lomba untuk meraih pangkat, jabatan, atau popularitas; atau bersaing dalam masalah harta dan kemewahan hidup di dunia. Sedikit di antara kita yang memposisikan akhirat sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup kita di dunia ini.
Marilah kita merenungkan tentang cita-cita seorang shahabat yang mulia, Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,“Wahai Robi’ah, memintalah kepadaku!” Robi’ah berkata,Aku meminta kepadamu agar aku bisa menemanimu di surga!Maka Rasulullah berkata,“Atau selain hal itu?” Robi’ah berkata,“Ya, itu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Maka bantulah aku dengan Engkau memperbanyak sujud.” [7]

Oleh karena itu, sangat jauhlah perbedaan antara orang yang cita-citanya tertuju pada makanan, minuman dan syahwat, dengan orang yang cita-citanya tertuju pada istana di surga! Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya cita-cita itu ada dua macam, (pertama) cita-cita yang kembalinya kepada dubur (makanan) dan qubul (seks); dan (ke dua) cita-cita yang terikat dengan yang berada di atas ‘Arsy, yaitu Allah Ta’ala.” [8]

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,“Jika Engkau melihat ada seseorang yang menyaingimu dalam masalah dunia, maka saingilah dia dalam masalah akhirat.” [9]

Wuhaib bin Warod rahimahullah mengatakan,“Jika Engkau mampu agar tidak ada seorang pun yang mendahuluimu menuju Allah, maka lakukanlah!” [10]

Niat yang ikhlas dan motivasi yang tinggi hendaknya menjadi jiwa yang menerangi langkah seorang muslim dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Sebagaimana seseorang bisa memiliki semangat yang membara untuk mengejar dunia, maka semangat yang lebih besar dan lebih tinggi harus dimiliki oleh seorang muslim untuk mengejar akhirat. Siapa saja yang bersungguh-sungguh, maka dialah yang akan menuai hasilnya karena surga Allah Ta’ala itu sangat mahal harganya.

Setiap detik waktu yang dimiliki oleh seorang mukmin hendaknya diisi dengan semangat, karena dia mengetahui betapa mulianya waktu tersebut. Barangsiapa yang menginginkan pahala, maka akan terasa ringanlah segala beban yang dia rasakan. Semakin tinggi cita-cita seseorang, maka segala rintangan, hambatan, kesulitan, dan keletihan yang dia alami akan terasa sangat kecil dan ringan. Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Sungguh aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku (untuk menuntut ilmu, pent.).” Dan ketika Imam Ahmad rahimahullah ditanya,”Kapankah seorang hamba merasakan nikmat istirahat (dari menuntut ilmu dan beramal, pent.)?, maka beliau rahimahullah menjawab,”Ketika dia pertama kali menginjakkan kakinya di surga.” [11]

Semoga tulisan ini dapat melecut semangat kita untuk menuntut ilmu syar’i dan melaksanakan berbagai amal shalih lainnya secara umum. [12]

Catatan Kaki:

[1] Lathooiful Ma’aarif, hal. 428.
[2] HR. Muslim.
[3] Lihat penjelasan hadits ini oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah di Bahjatu Quluubil Abraar, hal. 42-44.
[4] HR. Muslim.
[5] Syarh Shahih Muslim, 1/232.
[6] Taisir Karimir Rahman, hal. 60-61; ketika beliau menjelaskan tafsir QS. Al Baqarah (2) ayat 101.
[7] HR. Muslim.
[8] Al Fawaa-id, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 16-17.
[9] Lathooiful Ma’aarif, hal. 428.
[10] Lathooiful Ma’aarif, hal. 428.
[11] Ar-Roqoo’iq, karya Muhammad Ar-Rasyid. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 17.
[12] Tulisan ini kami sarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, Aktsar min 100 Thoriqoh lit Tahammus li Tholabil ‘Ilmi Syar’i hal. 15-18; dengan sedikit penambahan dari beberapa referensi lainnya.

Penulis: dr.M. Saifudin Hakim, MSc.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger