Diantara cara penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap agama ini adalah dengan membangkitkan para Ulama ahli hadits di setiap zaman, yang selalu berjuang dengan segala kemampuan mereka menjaga Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak bentuk-bentuk penjagaan mereka yang tercatat dalam sejarah dimulai dari zaman para Sahabat hingga sekarang. Diantara bentuk-bentuk tersebut adalah.
1. ZAMAN PARA SAHABAT RADHIYALLAHU ANHUM
A. Berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
• Imam adz-Dzahabi rahimahullah mencantumkan biografi shahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddik Radhiyallahu anhu dalam kitab beliau Tadzkiratul Huffâzh [1] dan beliau menyebut shahabat yang mulia ini sebagai orang yang pertama kali berhati-hati dan sangat teliti dalam menerima hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau rahimahullah membawakan sebuah riwayat dari Qubaishah bin Dzuwaib bahwa ada seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar ash-Shiddik Radhiyallahu anhu untuk meminta bagian dari harta warisan, maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak mendapati ada bagian (warisan) untukmu dalam kitabullah (al-Qur’ân) dan aku tidak mengetahui bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu (bagian warisan) untukmu”. Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada para Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum.
Lalu berdirilah al-Mugirah bin Sy’ubah Radhiyallahu anhu seraya mengakatan, “Aku pernah menyaksikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan (bagian) seperenam (dari warisan) untuk sorang nenek.” Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada al-Mugirah, “Apakah ada (orang lain) bersamamu (yang menyaksikan hal tersebut) ?” Kemudian Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu mempersaksikan hal yang sama, sehingga Abu Bakar Radhiyallahu anhu memberikan bagian tersebut kepada nenek tersebut”
• Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu , imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang beliau, “Umar bin al-Khattab-lah yang memberikan teladan baik kepada para Ulama ahli hadits tentang ketelitian dalam menukil (hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan terkadang beliau Radhiyallahu anhu tidak langsung menerima berita (hadits) dari seseorang jika beliau ragu” [2] . Kemudian imam adz-Dzahabi rahimahullah membawakan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu pernah mengunjungi ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu dan Abu Musa mengucapkan salam tiga kali dari balik pintu, karena tidak diizinkan (tidak dijawab) maka beliau Radhiyallahu anhu pulang. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu mengutus seseorang kepadanya dan bertanya, “Kenapa kamu pulang?”. Abu Musa Radhiyallahu anhu menjawab, "Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam tiga kali lalu tidak dijawab maka hendaknya dia pulang”. ‘Umar berkata, “Sungguh kamu harus membawa bukti (saksi) atas hal ini atau aku akan menghukummu.” Kemudian Abu Musa Radhiyallahu anhu mendatangi para Sahabat lainnya Radhiyallahu anhum dalam keadaan pucat mukanya (karena takut) dan beliau berkata, “Apakah ada di antara kalian yang mendengar (sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut)?”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum berkata, “Iya, kami semua mendengarnya”. Lalu mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk menemui ‘Umar Radhiyallahu anhu bersama Abu Musa Radhiyallahu anhu, kemudian Sahabat tersebut Radhiyallahu anhu menyampaikannya kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu[3] .
• Imam Muslim membawakan riwayat dari Mujâhid bin Jabr rahimahullah bahwa Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi rahimahullah (seorang tabi’in) pernah datang kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , lalu Busyair rahimahullah mulai menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu tidak mendengarkan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair pun berkata, “Wahai Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, kenapa aku melihatmu tidak mau mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan padamu hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarnya ?” Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu menjawab, “Dulunya kami (para Shahabat Radhiyallahu anhum) jika mendengar seseorang berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”, maka kami segera mengarahkan pandangan dan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi ketika manusia telah menempuh cara-cara yang baik dan buruk (kadang jujur dan kadang berdusta) maka kami tidak mau menerima (hadits) dari mereka kecuali yang telah kami ketahui (kebenarannya)”[4]
B. Takut dalam menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang telah diyakini kebenaran penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
• Dari Shahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Kalau bukan karena takut salah maka sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian hadits-hadits yang pernah aku dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan, hal ini (karena) aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”[5]
• Dari asy-Sya’bi dan Muhammad bin Sirin bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu jika menyampaikan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajah beliau akan berubah (karena takut) dan beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Demikianlah (sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) atau semakna dengannya”[6]
• Dari ‘Abdur Rahman bin Abi Laila , beliau berkata, "Kami berkata kepada Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, 'Sampaikan kepada kami hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan (menyampaikan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berat”[7] .
2. ZAMAN PARA TABI’IN DAN PARA ULAMA SETELAHNYA
A. Menanyakan dan memeriksa isnad hadits (mata rantai para perawi sampai kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam Muslim membawakan riwayat dari seorang Ulama tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin bahwa beliau rahimahullah berkata, “Dahulu, para Ulama ahli hadits tidak bertanya tentang isnad hadits, tapi setelah terjadi fitnah (terbunuhnya shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu dan bermunculannya ahlul bid’ah) para Ulama ahli hadits berkata (kepada orang yang menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Sebutkan kepada kami nama-nama para perawimu”, Kemudian mereka melihat (jika para perawi tersebut) ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan (jika para perawi tersebut) ahlul bid’ah maka tidak diterima haditsnya”[8]
B. Meneliti keadaan dan sifat-sifat para perawi hadits yang berhubungan dengan kebaikan agama, kejujuran dan ketelitiannya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dikenal dengan ilmu al-jarhu wat ta’dîl.
Imam al-‘Iraqi rahimahullah berkata, “Hampir-hampir semua kitab rujukan ilmu hadits bersepakat (menjelaskan) bahwa pembicaraan tentang al-jarhu wat ta’dîl (mengkritik dan memuji para perawi hadits) adalah perkara yang sejak dulu dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum , tâbi’în dan para Ulama setelah mereka.”[9]
Dari imam ‘Amr bin ‘Ali al-Fallas, beliau rahimahullah berkata, "Aku pernah mendengar imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan rahimahullah berkata, 'Aku pernah bertanya kepada (para imam Ahli hadits) Sufyân ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Mâlik bin Anas dan Sufyân bin ‘Uyainah tentang seorang perawi yang tidak cermat dalam (meriwayatkan) hadits, kemudian ada orang lain yang bertanya kepadaku tentang perawi tersebut, (apa aku harus menjelaskan keadaannya)?” Mereka menjawab, “(Ya), sampaikan kepadanya bahwa perawi tersebut tidak tidak cermat (dalam meriwayatkan hadits).”[10]
C. Melakukan rihlah (perjalanan jauh) untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Jabir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu telah melakukan perjalanan jauh selama sebulan (untuk menemui) ‘Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu dalam rangka (menanyakan) sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Imam Ibnu ash-Shalah menukil dari imam Ahmad rahimahullah , bahwa beliau rahimahullah ditanya, "Apakah seorang (penuntut ilmu hadits) melakukan perjalanan untuk mencari (sanad) yang tinggi ?" Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Ya, demi Allâh , dengan sungguh-sungguh. Sungguh imam Alqamah dan al-Aswad (dua ulama besar tabi’in yang tinggal di Irak) ketika sampai kepada mereka hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu , maka mereka tidak puas sampai mereka keluar (melakukan perjalanan jauh ke Madinah) untuk menemui ‘Umar Radhiyallahu anhu dan mendengarkan hadits tersebut (langsung) darinya”[12]
PENUTUP
Demikianlah gambaran tentang pembelaan dan penjagaan para Ulama Ahli hadits terhadap sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari masa ke masa sampai di akhir jaman, dengan izin Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Contoh-contoh yang kami sebutkan hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan mereka terhadap sunnah. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan pahala yang sempurna di sisi-Nya, menjaga mereka yang masih hidup dalam kebaikan dan merahmati mereka yang sudah wafat. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.
Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Kitab Tadzkiratul Huffâzh (1/2).
[2]. Kitab Tadzkiratul Huffâzh (1/6).
[3]. Hadits ini lengkapnya terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri (no. 5891) dan Shahîh Muslim (no. 2153).
[4]. HSR Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/12).
[5]. HR ad-Dârimi (no. 235) dan Ahmad (3/172) dengan sanad yang shahih.
[6]. HR ad-Dârimi (no. 271), dalam sanadnya ada perawi yang lemah..
[7]. HR Ibnu Majah (no. 25) dan Ahmad (4/370), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[8]. Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/15).
[9]. Kitab at-Taqyîd wal Iidhâh (hlm. 440).
[10]. Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/16).
[11]. Hadits tersebut adalah HR Ahmad (3/495) dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 970), dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri dan syaikh al-Albani (Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 3608).
[12]. Kitab’Ulûmul Hadîts (hlm. 223).
0 comments:
Post a Comment