Ilmu tidak diraih dengan banyaknya membaca saja, atau dengan banyaknya kitab, atau dengan (sekedar) mentelaah banyak kitab. Ilmu tidak diperoleh dengan cara-cara seperti ini. Ilmu itu hanya dapat diperoleh dengan belajar langsung kepada para ahli ilmu, bukan (didapat) dengan sendirinya, sebagaimana dugaan sebagian orang dewasa ini. Sebagian mereka memengoleksi kitab-kitab, membaca buku-buku hadits, al-jarh wat ta’dîl, tafsir dan lainnya. Dengan itu, mereka menyangka telah mendapat ilmu. Padahal tidak demikian! Ini adalah ilmu yang tidak dibangun di atas dasar (yang kokoh) dan kaidah-kaidah (ilmiah). Karena dia tidak belajar langsung dari ahli ilmu. Maka seharusnya dia duduk belajar di majelis-majelis ilmu, di kelas-kelas pembelajaran, dari para pengajar yang faqih lagi alim, dan dia harus sabar dalam menuntut ilmu.
Barangsiapa yang tidak pernah mengecap sengsaranya belajar sekejap masa
Ia akan meneguk cawan kebodohan sepanjang hayatnya
(Belajar Ilmu agama) harus dengan kesabaran, dan ilmu tidak didapat dengan (sekedar) membaca, dan tidak didapat dengan sendirinya. Jadi harus ada metode dalam menempuh pelajaran. Harus mengambil ilmu dari pintu-pintunya dan masuk dari pintu-pintunya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya;
[Al-Baqarah/2:189]
Ilmu mempunyai banyak pintu, dan mempunyai para pengampu dan para pengajar. Maka sudah seharusnya -wahai saudara-saudaraku- kita bergabung dalam majlis-majlis ilmu, baik itu di masjid, di sekolah, atau di lembaga pendidikan (agama) atau di bangku kuliah. Yang terpenting adalah kita mengambil ilmu dari para ulama selama mereka ada (memberikan pelajaran) dan selagi kesempatan memungkinkan.
Adapun jika kita terpencar-pencar, setiap orang duduk di kamarnya, kemudian memanfaatkan koleksi bukunya dan mempelajari buku-buku yang ada, sedangkan dia belum punya dasar (ilmu) dan belum pernah belajar dasar-dasar ilmu itu, maka ini adalah kesia-siaan. Maka menjadi keharusan untuk mempelajari agama Allâh melalui tangan para ulama.
MENETAPI JAMAAH KAUM MUSLIMIN DAN TIDAK MENISBATKAN DIRI KEPADA SUATU GOLONGAN ATAU JAMAAH TERTENTU ADALAH DIANTARA SEBAB KESELAMATAN
Di antara sebab keselamatan adalah menetapi jamaah kaum Muslimin dan tidak menisbatkan diri kepada golongan dan jamaah yang menyimpang dari jalan yang ditempuh kaum salaf kita. Karena Rasûlullâh bersabda tentang firqah nâjiyah (golongan yang selamat):
مَنْ كَانَ عَلىَ مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
Mereka adalah yang meniti jalan seperti yang aku tempuh bersama para Sahabatku pada hari ini.[1]
Allâh Azza wa Jalla berfirman
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allâh dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah/9:100]
Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti generasi pertama (assâbiqûnal awwalûn)
Adapun jika manusia terpisah-pisah (masing-masing) bersama golongan-golongan yang menyimpang, dan mulai mencela para Sahabat, atau membodohkan para Ulama, atau membodohkan para imam atau menyalahkan mereka, maka ia hanya akan sampai pada kesesatan, kecuali jika Allâh memperbaiki (keadaan)nya dengan rahmat-Nya, dan ia bertaubat kepada Allâh serta kembali kepada jamaah kaum Muslimin dan golongan yang selamat.
Rasûlullâh bersabda tentang 73 golongan (dari umat ini):
كُلُّهَا فِي النَّارِ
Semuanya di neraka [2]
Dan keadaan golongan-golongan ini di neraka berbeda-beda, tergantung seberapa jauh dia dari kebenaran. Di antara mereka ada yang (sudah sampai taraf) kafir, ada yang sesat, dan ada yang fasik. Yang pasti mereka semua mendapat ancaman dimasukkan ke neraka
إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً
Kecuali satu golongan.[3]
Para Ssahabat bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab
مَنْ كَانَ عَلىَ مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
Orang yang meniti jalan seperti yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini.[4]
Jalannya adalah satu, dan jamaahnya pun satu; sebagaimana firman Allâh:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. [Al-An’âm / 6:153]
Jalan-jalan kesesatan sangat banyak, tidak terbatas jumlahnya.
Sekarang kita saksikan banyaknya golongan dan jamaah, tidak terbatas jumlahnya. Akan tetapi jamaah ahlus sunnah wal jamaah hanya satu dari masa Rasûllullâh sampai tegaknya hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasûlullâh:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ, لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ
Masih saja ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran dengan mendapat kemenangan. Tidak akan membahayakan mereka (kelompok tersebut) orang yang menelantarakan mereka, tidak pula orang yang menyelisihi mereka, hingga datang putusan dari Allâh.[5]
Ya, akan ada orang yang memandang rendah orang yang mengikuti jalan (golongan yang selamat). Akan ada yang membodohkan mereka, mengatakan bahwa mereka orang-orang shaleh, akan tetapi tidak mengetahui waqi’ (realita), tidak paham urusan ini dan itu! Ini semua bisa menyebabkan seorang Muslim tidak peduli mereka.
Dalam banyak hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk senantiasa bersama dengan jamaah yang berpegang teguh pada jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , jalan para Sahabatnya dan jalan salaf (para pendahulu) umat ini. Karena para pendahulu umat ini adalah orang yang paling tahu dan paling dekat dengan kebenaran dibandingkan orang yang sesudah mereka. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji tiga atau empat generasi (dari umat ini). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِين يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِين يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik di antara kalian adalah generasiku, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mereka yang datang setelah mereka. [6]
Perawi hadits ini mengatakan bahwa dia tidak tahu, apakah setelah generasi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Nabi menyebutkan dua generasi atau tiga generasi. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa keadaannya akan berubah setelah generasi-generasi ini. Dan mengenai keadaan (umat ini), akan terjadi apa yang terjadi. Dan sungguh telah terjadi apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan. Setelah usai generasi-generasi utama, terjadilah di tengah umat ini apa yang terjadi; berupa berbagai fitnah, ajaran yang datang dari luar, madzhab-madzhab yang beraneka warna. Tidak ada yang tetap berada di atas kebenaran kecuali jamaah kaum Muslimin yang berpegang teguh dengan apa-apa yang dipegang oleh assalafush shalih. Ini adalah termasuk kenikmatan yang Allâh berikan; bahwa kebaikan senantiasa ada, meskipun kejelekan merajalela, supaya orang-orang yang menginginkan kebaikan bisa kembali kepadanya; dan agar tegak hujah Allâh atas makhluk-Nya. Bagaimanapun fitnah dan kejelekan banyak dan merajalela, kebenaran akan senantiasa ada,walhamdu lillâh.
Kita tidak mengatakan bahwa umat Islam telah sirna, sebagaimana dikatakan sebagian penulis atau khatib. Umat Islam akan selalu –wal hamdu lillâh-.
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ
Masih saja ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran dengan mendapat kemenangan.[7]
Akan tetapi keadaannya ini haruslah dengan cara kembali kepada jama’ah kaum Muslimin dan bergabung dengannya.
Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengetahui kebenaran dan beramal dengannya serta berpegang teguh dengannya.
MEMPERBANYAK DOA DIANTARA SEBAB KESELAMATAN
Diantara sebab keselamatan dari fitnah adalah memperbanyak doa. Seorang Muslim harus memperbanyak doa, memohon agar Allâh menjaganya dari fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Berlindunglah kepada Allâh dari berbagai fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.[8]
Rasûlullâh dalam tasyahhud akhir berlindung dari empat perkara dan memerintahkan (umatnya untuk melakukan itu). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika salah seorang diantara kalian selesai membaca tasyahhud, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allâh dari empat perkara dengan mengatakan
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Wahai Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah masih ad-dajjal, dan dari fitnah kehidupan dan kematian. [9]
Hendaknya seorang Muslim memperbanyak doa, agar Allâh menjaganya dari kejelekan fitnah yang tampak dan yang tersembunyi, dan meminta dengan penuh kesungguhan kepada Allâh Azza wa Jalla dan memperbanyak berdoa. Sesungguhnya Allâh Maha Dekat lagi Maha mengabulkan doa. Barang siapa yang berlindung kepada Allâh (niscaya) Allâh akan menjaganya, dan barang siapa yang berlindung kepada Allâh maka Allâh Azza wa Jalla akan melindunginya. Barang siapa berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh akan mengabulkannya.
Allâh turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir dan mengatakan:
هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ
Apakah ada yang meminta, sehingga Aku akan memberinya? Apakah ada yang memohon sehingga Aku mengabulkannya? Apakah ada yang meminta ampun sehingga Aku akan mengampuninya? [10]
Sejatinya Allâh Azza wa Jalla membuka pintu-Nya siang dan malam untuk orang-orang yang berdoa. Akan tetapi ini adalah tambahan; yaitu penambahan kesempatan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya, karena kasih sayang-Nya kepada mereka.
Seorang Muslim hendaknya memperbanyak doa kepada Allâh di setiap waktu, terlebih lagi pada keadaan-keadaan dan waktu-waktu yang utama. Keadaan yang utama di mana dalam keadaan ini doa dikabulkan seperti ketika sujud, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Karena (ketika itu) lebih layak untuk dikabulkan untukmu.[11]
Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Keadaan seorang hamba yang lebih dekat kepada Rabb nya adalah tatkala ia bersujud. Maka berbanyaklah doa. (pada saat sujud)[12]
Juga memperbanyak doa di waktu-waktu utama seperti: akhir malam, sepertiga malam terakhir, waktu terakhir pada hari Jum’at, atau di akhir sholat.
Hendaknya manusia memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak lalai, tidak lalai dari berdoa, khususnya memohon keselamatan dari fitnah. Karena jika dia selamat dari berbagai fitnah, maka dia selamat dari setiap kejelekan. Jika dia selamat dari berbagai fitnah, selamatlah agamanya. Dan jika selamat agamanya, maka selamatlah akhir kesudahannya.
SINGKAT KATA
Fitnah sangatlah banyak dan bermacam-macam. Dan para penyeru fitnah juga sangat banyak. Mereka memang terlatih dan selalu berusaha terus menerus (professional dalam mengajak kepada fitnah), sebagaimana sabda Nabi:
قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
Mereka adalah kaum dari bangsa kita juga, dan berbicara dengan bahasa kita.[13]
Para penyeru fitnah berbicara dengan bahasa kita. Mereka dari kaum yang berkulit sama dengan kita (dari kaum yang sama), kebanyakan mereka dari bangsa arab, ataupun dari kerabat kita. Maka wajib bagi setiap manusia untuk berhati-hati dan tidak tertipu. Setiap orang yang mengajak kepada kesesatan atau menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah maka jauhilah, walaupun ia adalah oranga yang paling dekat denganmu. Dan Rasûlullâh n mengabarkan bahwa jalan-jalan yang menyelisihi jalan Allâh, di atas setiap jalan tersebut ada syaitan yang menyeru manusia kepadanya, syaitan-syaitan dari golongan manusia dan dari golongan jin, yang menyeru kepada kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Mereka mengajak ke neraka, sedang Allâh mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. [Al-Baqarah/2:221]
Syaitan mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka sa’îr. Di sana terdapat para penyeru kesesatan. Kita harus berhati-hati dari mereka, dan berhati-hati terhadap syubhat mereka. Kita wajib bersandar kepada kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya, juga kepada Ahli ilmu. Kita harus bertanya tentang hal yang kurang jelas, sebagai mana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl/16:43]
Kita meminta kepada Allâh pada setiap rakaat dari shalat kita, ketika kita membaca Surat al-Fatihah yang merupakan rukun shalat. Allâh Azza wa Jalla berfirman
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fathihah /1:6-7]
Kita meminta kepada-Nya agar Dia memberikan hidayah kepada kita menuju jalan yang lurus, dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang yang dimurkai dan jalan orang-orang yang sesat. Orang-orang yang dimurkai adalah ahli ilmu yang tidak beramal dengan ilmunya, dan orang-orang sesat adalah mereka yang beramal tanpa ilmu. Sedangkan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang berilmu dan beramal. Dan merekalah yang Allâh sebutkan dalam firman-Nya.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasul (-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisa / 4:69]
Barang siapa diberi taufiq meniti jalan Allâh, maka teman karib mereka adalah orang-orang terbaik tersebut. Dan barang siapa menyimpang dari jalan Allâh, maka teman karibnya adalah orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat- kita memohon kepada Allâh keselamatan-.Imam Darul Hijrah Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu pernah mengungkapkan untaian kalimat yang begitu agung. Setiap kaum Muslimin seharusnya memperhatikan dan mengambil pelajaran darinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah menjadikan baik umat yang pertama.”
Apakah yang telah menjadikan umat yang pertama baik? Ia adalah al-Kitab dan as-Sunnah, dan mengikuti Rasûl. Begitu pula ketika keburukan, kesesatan, golongan dan jamaah begitu banyak, maka tidak ada yang bisa memperbaiki akhir dari umat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan baik generasi yang pertama. Perkara ini sudah ada (tersedia) –wal hamdu lillâh– di hadapan kita. Perkara tersebut adalah Kitab Allâh dan Sunnah Rasûlullâh, dan kembali kepada ulama yang mempunyai kekhususan (berpegang) kepada Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya, agar mereka menjelaskan kepada kita hal-hal yang belum jelas bagi kita.
Oleh Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzi dalam al-îmân, no. 2641.
[2] HR. At-Tirmidzi dalam al-îmân, no. 2641.
[3] HR. Ibnu Majah, no. 3992.
[4] HR. At-Tirmidzi dalam al-îmân, no. 2641.
[5] HR. Muslim dalam al-Imârah, no. 1920; At-Tirmidzi dalam al-Fitan, no. 2229; Abu Dawud dalam al-Fitan wal Malâhim, no. 4252; Ibnu Majah, no. 3952; Ahmad 5/279.
[6] HR. Al-Bukhâri dalam Syahadat, no. 2508; Muslim dalam Fadhâ’il ash-Shahâbah, no. 2535; At-Tirmidzi dalam al-Fitan, no. 2322; An-Nasa’i dalam al-Aimân wan Nudzur, no. 2809; Abu Dawud dalam as-Sunnah, no. 4657; Ahmad 4/427.
[7] HR. Muslim dalam al-Imârah, no. 1920; At-Tirmidzi dalam al-Fitan, no. 2229; Abu Dawud dalam al-Fitan wal Malâhim, no. 4252; Ibnu Majah, no. 3952; Ahmad 5/279.
[8] HR. Muslim dalam al-Jannah wa Shifatu Na`îmiha wa Ahluha, no. 2867
[9] HR. Muslim, no. 588.
[10] HR. Al-Bukhâri dalam ad-Da’âwat,no. 5962; Muslim dalam Shalâtul Musâfirîn wa Qashruhâ, no. 758; At-Tirmidzi dalam ash-Shalât, no. 446; Abu Dawud dalam ash-Shalât, no. 1315; Ibnu Majah dalam Iqâmatush Shalâh was Sunnatu fîhâ, no. 1366; Ahmad 2/433; Mâlik dalam an-Nidâ’ lis Shalât, no. 496; Ad-Dârimi dalam ash-Shalât, no. 1484.
[11] HR. Muslim dalam ash-Shalâh, no. 479; An-Nasa’i dalam at-Tathbiq, no. 1120; Abu Dawud dalam ash-Shalât, no. 876; Ahmad 1/219; Ad-Darimi dalam ash-Shalât, no. 1325.
[12] HR. Muslim dalam ash-Shalât, no. 482; An-Nasâ’i dalam at-Tathbîq, no. 1137; Abu Dawud dalam ash-Shalât, no. 875; Ahmad 2/421.
[13] HR. Al-Bukhâri dalam al-Manâqib, no. 3411; Muslim dalam al-Imârah, no. 1847, Ibnu Majah, al-Fitan, no. 3979
0 comments:
Post a Comment