ANAK, ISTRI DAN HARTA ADALAH FITNAH
Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allâh-lah pahala yang besar. [At-Taghâbun/64:15]
Jadi, harta dan anak keturunan adalah fitnah. Barangsiapa yang lebih mendahulukan kecintaan kepada harta, anak, pada negeri, kaum keluarga, perniagaan dan kecintaan pada tempat tinggal daripada kecintaan kepada Allâh dan Rasûl-Nya, maka tunggulah akibat yang sangat mengenaskan. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allâh dan Rasûl-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allâh mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. [At-Taubah /9:24]
Janganlah kita dahulukan kecintaan kepada mereka di atas kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya. Jangan kita dahulukan ketaatan kepada mereka di atas ketaatan kepada Allâh dan Rasûl-Nya. Berhati-hatilah! Jangan sampai karena mereka kita menjadi tersibukkan (sehingga meninggalkan) hal-hal yang bisa mendekatkan kita kepada Allâh. Allâh berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang Mukmin! Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. [At-Taghâbun/64:14]
Firman-Nya: [maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka] bukan berarti engkau memusuhi, menjauhi dan memboikot mereka. Namun maknanya adalah: kita harus berhati-hati terhadap fitnah ujian mereka. Berhati-hati agar jangan sampai kita memihak mereka kala terjadi pertentangan antara kecintaan mereka dengan kecintaan kepada Allâh dan Rasûl-Nya. Kita harus memprioritaskan kecintaan kepada Allâh dan Rasûl-Nya di atas kecintaan terhadap harta dan anak. Ketika itulah Allâh Azza wa Jalla akan memperbaiki harta kalian dan juga memperbaiki anak-anak kalian.
KEBAIKAN DAN KEBURUKAN JUGA FITNAH.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [Al-Anbiyâ’/21:35]
Kebaikan dalam segala ragamnya, seperti harta, hujan, dan kesuburan dan lain sebagainya adalah fitnah yang bisa menghadang manusia, sebagaimana firman Allah di atas.
Demikian pula ketaatan dan kemaksiatan juga fitnah. Manusia diperintahkan untuk taat dan dilarang dari perbuatan maksiat. Saat moment ketaatan datang, misalnya waktu shalat dan ibadah datang, di waktu yang sama datang pula saat untuk menikmati kelezatan makan, minum dan bersenang-senang atau lainnya, maka manakah yang ia dahulukan? Ini adalah cobaan dan ujian. Cobaan dan ujian dari Allâh Azza wa Jalla .
MANUSIA, SATU SAMA LAINNYA PUN JUGA FITNAH
Allâh berfirman:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; [Al-Furqân /25: 20]
Allâh menguji manusia sebagian mereka dengan sebagian lainnya. Seorang Mukmin diuji dengan orang kafir, begitu pula seorang Mukmin diuji dengan orang munafik. Dia menguji hamba-Nya antara sebagian dengan sebagian lainnya.
ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ
Demikianlah apabila Allâh menghendaki niscaya Allâh akan membinasakan mereka tetapi Allâh hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. [Muhammad / 47:4]
Seorang Mukmin dan Muslim diuji dengan para musuhnya agar tampak jelas sikap mereka terhadap para musuh tersebut, yaitu dengan mendakwahi mereka kepada jalan Allâh, dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar dan dengan jihad, atau malah justru ia menyerah dan lebih condong untuk mencari kenyamanan?! Bila pilihannya adalah yang pertama –yaitu dengan berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar dan jihad- maka ia berada dia atas kebaikan. Ia lulus dalam ujian. Tapi kalau ia memilih yang kedua –yaitu menyerah dan cenderung memilih jalan nyaman- maka kerugian yang ia dapat dan ia gagal dalam ujian.
Demikian pula orang kaya diuji dengan orang fakir. Allâh berfirman:
وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا ۗ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allâh kepada mereka?” (Allâh berfirman): “Tidakkah Allâh lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” [Al-An`âm/6:53]
Orang-orang kafir menghina kaum fakir dari kalangan Muslimin. Mereka berkata, ‘Apakah mereka ini adalah orang-orang yang telah Allâh beri anugerah di antara kita?’ Mereka adalah orang-orang fakir, tidak punya apa-apa. Bagaimana bisa mereka ini berada di atas petunjuk sedangkan kami berada di atas kesesatan?! Sementara kami ini para pemiliki harta dan dunia. Kami ini adalah orang-orang yang memegang kepemimpinan dan mempunyai ide serta pikiran cemerlang. Kami ini adalah para ahlul halli wal aqd (para pemegang keputusan dalam urusan kelembagaan dan pemerintahan). Sedangkan mereka adalah orang-orang fakir miskin. Namun kendati demikian, mereka justru mendakwakan diri lebih baik daripada kami.
Allâh berfirman,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Tidakkah Allâh lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?” [Al-An`âm/6:53]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak melihat bentuk fisik dan harta kalian. Dia hanya melihat pada hati dan amal kalian. Seorang fakir yang bersyukur, yang beriman kepada Allâh, yang mencintai kebaikan, dialah wali Allâh Azza wa Jalla . Adapun orang yang besar diri dan merasa tinggi tak sudi menerima kebenaran, yang merasa takjub dengan harta, diri dan kedudukan jabatannya, maka orang seperti ini tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allâh Azza wa Jalla . Meskipun menurut kaca mata dirinya, ia memiliki bobot yang besar, namun di sisi Allâh ia tidak memiliki bobot sedikitpun. Allâh berfirman yang artinya: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allâh kepada mereka?” (Al-An`am / 6: 53) artinya mereka mendapatkan hidayah petunjuk, sementara kami tidak. Padahal mereka ini didera kefakiran dan kebutuhan. Kami ini lebih mulia dari mereka. Kami lebih hebat dari mereka.
Ini semua atas dasar sangkaan mereka belaka. Karena barometer yang ada pada mereka adalah barometer kekayaan, harta dan jabatan kedudukan; bukan barometer hati dan amalan. Padahal barometer di sisi Allâh adalah atas dasar hati dan amalan.
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Akan tetapi Dia (Allâh) melihat pada hati dan amalan kalian.[1]
PERPECAHAN DAN PERTIKAIAN DI ANTARA FITNAH YANG TERDAHSYAT
Di antara fitnah yang paling dahsyat adalah fitnah perpecahan dan pertikaian, serta kemunculan berbagai firqah (kelompok) dan jamaah. Keadaan ini telah diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dalam hadits `Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَعَظَنَا رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَوعظةً بَليغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ ، فَقُلْنَا :
يَا رسولَ اللهِ ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأوْصِنَا ، قَالَ : أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi wejangan kepada kami dengan wejangan yang sangat mengesankan. Hati menjadi takut karenanya, mata meneteskan air mata disebabkannya. Lalu kami berkata, “Wahai Rasûlullâh! Seakan ini wejangan orang yang hendak berpisah, maka berilah wasiat kepada kita.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allâh, dan mendengar serta taat.”[2]
[Mendengar dan taat] kepada yang memegang kendali urusan kaum Muslimin (pemimpin). Mengingat dalam hal itu terdapat persatuan kalimat kaum Muslimin, kekuatan dan kewibawaan umat, sehingga disegani para musuhnya. Bila umat ini berhimpun di bawah kendalinya, di bawah kepemimpinannya yang mukmin, maka hal itu akan menjadikan umat ini mempunyai wibawa dan kekuatan.
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّر عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
Dan kalian harus mendengar dan taat, meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.[3]
Artinya: janganlah engkau menghina pemimpinmu bagaimanapun dia. Akan tetapi dengar dan taatlah, selama ia masih memerintahkan ketaatan kepada Allâh.
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اختِلافاً كَثِيْرًا فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِي, تَمَسَّكُوا بِهَا عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة
Karena sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kalian, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Berpeganglah kalian pada sunnahku, dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang mendapatkan bimbingan sepeninggalku. Peganglah dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat.[4]
Demikianlah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang terjadinya perselisihan dalam hal pendapat dan pikiran, berbagai madzhab dan jamaah serta kelompok. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan ketika itu untuk berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasûl-Nya, dan apa yang dipegang oleh para khulafa’ rasyidin. Itu akan menjadi jaminan keselamatan bagi orang yang mengamalkannya. Adapun orang yang terlepas dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj para Khulafâ’ Râsyidin, maka ia akan terjatuh bersama dengan berbagai kelompok yang berbeda-beda tersebut.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah dan pembicaraannya mengucapkan:
إنَّ خَيْرَ الحَديثِ كِتَابُ الله ، وَخَيرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ بِدْعَة ضَلالَةٌ وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإنَّ يَدَ اللَّهِ عَلَى الجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Berpeganglah kalian pada jamaah. Karena sesungguhnya tangan Allâh di atas jamaah. Dan barangsiapa yang menyendiri (dari jamaah), ia terasing di neraka.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan jalan selamat dari fitnah yaitu berpegang pada Kitabullah dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; serta berhati-hati dari perkara-perkara yang diada-adakan.
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya, ‘Berpeganglah kalian pada jamaah.’[6]
Ini juga di antara jalan selamat. Yaitu ketika muncul perpecahan, perselisihan dan jamaah-jamaah yang beraneka ragam, maka seorang Muslim berdiri bersama jamaah Muslimin. Yaitu jamaah yang berjalan di atas derap langkah Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang meniti manhaj Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia tidak mengikuti jalan para ahli kalam (mutakallimin), atau ahli jadal (ahli dialektika), atau ahli bid’ah; meskipun mereka menamakan diri dengan nama-nama yang memukau namun mengecoh.
Jamaah di sini adalah yang berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, meskipun jumlahnya sedikit. Jumlah yang banyak bukan menjadi syarat jamaah dan bukan indikasi bahwa ia berada di atas kebenaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,. [Al-An’am/6:116]
Selama mereka masih mengikuti persangkaan, maka mereka akan tersesat dari jalan Allâh, meski jumlah mereka mencapai ratusan ribu atau jutaan. Adapun orang yang berada di atas kebenaran, maka itulah jamaah. Ialah kelompok yang selamat lagi mendapat pertolongan (firqah nâjiyah manshûrah). Ialah kelompok yang mendapat pertolongan. Mereka adalah ahlussunnah wal jamaah; seperti yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Masih saja ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran dengan mendapat kemenangan. Tidak akan membahayakan mereka (kelompok tersebut) orang yang menelantarakan mereka, tidak pula orang yang menyelisihi mereka, hingga datang putusan dari Allâh Azza wa Jalla .[7]
PERLU KESABARAN
Berpegang pada jalan yang ditempuh oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam perlu kesabaran. Terlebih di akhir zaman. Karena di penghujung masa, orang yang berpegang dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapi jamaah kaum Muslimin akan menjumpai kepayahan yang begitu berat. Seperti dalam hadits, Rasûlullâh bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Akan datang suatu zaman, di mana orang yang bersabar dari mereka di atas agamanya, laksana orang yang memegang bara api.[8]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ
Sesungguhnya di belakang kalian (nanti) ada hari-hari, di mana bersabar pada waktu tersebut seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal di waktu tersebut seperti (mendapat) pahala 50 orang, yang beramal seperti amal kalian.
Terdapat tambahan lain dalam riwayat perawi lain, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:
“Wahai Rasûlullâh! (mendapatkan) Pahala 50 orang dari kami atau dari mereka? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan pahala 50 orang dari kalian.”[9]
Maksudnya sepadan dengan pahala 50 orang Sahabat.
Orang yang berpegang pada sunnah pada akhir zaman, saat berbagai fitnah bermunculan, ia tidak mempunyai para penolong. Bahkan kebanyakan manusia menentangnya, sampaipun orang-orang yang mengaku diri sebagai penganutnya. Mereka membuatnya cemas, menjelekkannya, dan menyalahkannya. Sehingga ia membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu, ia mendapat pahala yang begitu agung, disebabkan ketegarannya di atas kebenaran saat berbagai fitnah bermunculan dan rintangan begitu banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan mereka sebagai kaum terasing (ghurabâ’). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
Beruntunglah orang-orang yang dianggap asing (ghurabâ’).” Rasûlullâh ditanya, “Wahai Rasûlullâh, siapakah orang-orang terasing itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Yaitu) orang-orang yang melakukan perbaikan tatkala orang-orang rusak.”[10] Dalam riwayat lain:
يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ
Yaitu yang memperbaiki apa yang telah dirusak orang-orang[11]
Ini memperlihatkan kepada kita tentang suatu perkara besar yang akan terjadi di akhir zaman. Maka menjadi kewajiban kita untuk memohon ketegaran kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon agar diwafatkan di atas Islam. Di samping itu, kita harus bersungguh-sungguh untuk mengetahui kebenaran dan mengenali orang-orang yang berpegang dengannya; serta mengetahui yang batil dan orang-orangnya. Tujuannya, agar kita bisa bergabung dengan kebenaran dan orang-orangnya, serta berhati-hati dari kebatilan dan orang-orangnya. Ini berarti memerlukan pemahaman dalam agama (tafaqquh fiddîn).
Ini tidak bisa dilakukan oleh orang jahil. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang diberikan pemahaman dalam agama oleh Allâh; yang diberikan bashîrah dengan ilmu yang bermanfaat; yang bisa membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara yang hak dan batil. Jadi, untuk selamat dari fitnah ini cukup sulit, padahal kita sudah melihat sendiri betapa gelombang fitnah begitu dahsyat melanda dunia dewasa ini.
DIANTARA BENTUK FITNAH: ALAM YANG KINI SEMAKIN TERASA DEKAT
Dunia sekarang ini terasa semakin berdekatan. Apa yang terjadi di ujung dunia, beritanya bisa sampai hingga ujung dunia yang lain dengan cepat. Keburukan, kefasikan dan kemaksiatan yang terjadi pun berpindah. Berpindah dengan perantara berbagai fasilitas canggih sekarang ini. Bahkan bisa masuk ke rumah-rumah yang tertutup, hingga pun sampai ke pedalaman di rumah-rumah (tenda-tenda) yang terbuat dari bulu domba. Mereka bisa menontonnya seakan turut hadir di tempat kejadian. Bukan hanya itu, bahkan bisa jadi itu, lebih jelas daripada di tempat terjadinya suatu keburukan.
Ini termasuk ujian dan cobaan. Dunia ini sekarang telah diterpa gelombang fitnah. Fitnah syahwat yang sangat banyak bentuknya, juga fitnah syubhat, kesesatan dan ilhad. Semua ini “diekspor” ke seluruh penjuru dunia, sampai ke daerah yang paling ujung di segala penjuru, kecuali yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla .
Untuk menghadapi ini, manusia memerlukan bashîrah (kekuatan ilmu). Ia harus mengambil langkah hati-hati. Ia harus mengetahui berbagai bahaya yang merupakan produk yang didatangkan dari luar sehingga ia bisa menjauhinya. Orang yang tidak punya bashîrah, tidak punya ilmu agama, mungkin saja ia akan memandang hal-hal tersebut sebagai bentuk kemajuan dan peradaban serta simbol kemakmuran, bahkan sebagian menganggapnya sebagai nikmat. Ia tidak tahu bahaya dan keburukan yang terkandung dalam perangkat modern tersebut. Jadi, ini masalah yang sangat serius. Sekarang ini, berbagai fitnah dipertontonkan dan ditawarkan kepada umat manusia, seperti yang digambarkan Râsulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا، فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا، نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا، نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ، عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ، مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا، وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ»
Dilekatkan fitnah pada sisi hati (atau dipaparkan pada hati) seperti halnya tikar yang dilekatkan (dipintal) sehelai demi sehelai. Maka hati manapun bila telah tercampur terasukinya (fitnah tersebut), maka digoreskan padanya titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya (menolaknya), maka digoreskan padanya titik putih. Sehinga hati manusia terbagi menjadi dua hati; hati yang putih seperti batu marmer yang halus. Ketika itu fitnah tidaklah membahayakannya, sepanjang langit dan bumi tetap tegak. Sedangkan yang lain hati yang hitam kelam; seperti cangkir yang dibalikkan. Ia tidak mengenal yang ma’ruf (yang baik) dan tidak mengingkari yang munkar; kecuali apa-apa yang telah terasuki oleh hawa nafsunya.[12]
Fitnah ini ditunjukkan pada hati manusia. Hati manakah yang mengingkari fitnah ini? Hati yang mengingkarinya adalah hati yang faqîh (yang memahami agama) lagi mempelajari Kitabullah; yang mengetahui hukum Allâh dalam masalah-masalah ini. Adapun orang yang tidak tahu, maka ia akan terwarnai fitnah. Terkadang ia justru terpana dengan fitnah tersebut, dan menganggapnya bentuk peradaban dan kemajuan. Ia menyangka bahwa menjauhi hal tersebut justru masuk dalam kategori gaya hidup yang kasar dan keras.
Tidak ada yang bisa menjaga dari berbagai fitnah ini, kecuali apa yang telah Allâh jadikan sebagai penjaga dan pelindung. Yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh berfirman.
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrâhîm/14:1]
Allâh juga berfirman dalam awal Surat Al-Baqarah
الم ﴿١﴾ ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴿٣﴾ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ﴿٤﴾ أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Alif laam miim; Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’ân) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. [Al-Baqarah /2: 1-5]
Dalam permulaan surat di atas, Allâh Subhanahu wa Ta’alamenyebutkan bahwa al-Qur’ân ini adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; khusus untuk orang bertakwa. Kemudian Allâh menjelaskan siapakah mereka yang bertakwa?
Kemudian Allâh menyebutkan golongan kedua, yaitu kaum kafir, dan golongan ketiga, yakni kaum munafik.
Allâh menyebutkan bahwa manusia dilihat dari sikap mereka terhadap Al-Quran ada tiga golongan:
Yang beriman kepadanya, secara lahir maupun batin. Mereka adalah kaum bertakwa.
Mereka yang kufur terhadap Kitab ini, baik secara lahir maupun batin. Allâh berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allâh telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. [Al-Baqarah /2: 6-7].
Mereka yang secara lahiriah (mengaku) beriman dengannya, namun mereka mengkufurinya dalam hati. Mereka adalah kaum munafik. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan belasan ayat tentang mereka, mulai dari ayat ke-8 sampai ayat ke-20 dari Surat al-Baqarah.
Intinya, bahwa dalam Kitabullah terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa ingin selamat dari berbagai fitnah ini, maka ia harus berpegang pada Kitabullah. Ia harus membacanya dan mengamalkan isi kandungannya. Ia adalah sumber pertama untuk mendapat petunjuk dan keselamatan dari keburukan di dunia dan akhirat. Ia harus sering membaca, mentadabburi al-Quran yang agung ini serta mengamalkannya.
Demikian juga (harus berpegang pada) Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena ia menafsirkan dan menjelaskan al-Qur’ân, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [An-Najm/53:3-4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian (sesuatu), yang bila kalian berpegang padanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku: Kitabullah dan Sunnahku.[13]
Inilah yang bisa menjaga dan menjamin dari berbagai fitnah bagi orang yang berpegang pada keduanya.
Dan Nabi memberitakan dalam berbagai hadits, bahwa akan ada berbagai fitnah:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Bergegas-gegaslah untuk beramal, (karena akan datangnya) berbagai fitnah seperti penggalan-penggalan malam yang gulita. Seseorang berada di waktu pagi dalam keadaan beriman, sedangkan petang harinya menjadi kafir. Atau sore harinya ia dalam keadaan mukmin, namun di waktu pagi ia menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan kesenangan (hina) dunia.[14]
Ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia yang hina. Ia lebih mendahulukan dunia daripada akhirat. Ia meninggalkan shalat, tidak mengeluarkan zakat, durhaka kepada Allâh dan Rasûl-Nya. Ia justru menuruti syaitan dan para pengikutnya. Kita memohon kepada Allâh agar diberi keselamatan dari berbagai fitnah dahsyat ini.
Berbagai fitnah semakin menjadi-jadi. Semakin zaman surut ke belakang, makin parah pula fitnah-fitnah yang menerpa, hingga akan datang fitnah-fitnah besar yang beruntun hingga terjadinya Hari Kiamat. Jadi, manusia hidup di dunia ini beriringan dengan berbagai fitnah. Ia akan hidup beriringan dengan fitnah, khususnya mereka yang hidup di akhir zaman, mereka lebih banyak beriring berdampingan dengan fitnah. Berbagai fitnah di masa mereka lebih banyak, dikarenakan dekatnya Hari kiamat dan penghabisan dunia.
Oleh Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] HR. Muslim; Kitab al-Birr wa ash-Shilah wal âdâb, no. 2564.
[2] HR. Abu Daud Kitab as-Sunnah, no. 4607; ad-Dârimi dalam Muqaddimah, no. 95.
[3] HR. Al-Bukhâri dalam al-Ahkâm, no. 6723; Ibnu Majah dalam al-Jihâd, no. 2860; Ahmad 3/114.
[4] HR. At-Tirmidzi dalam al-`ilmu, no. 2676; Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no. 44; Ahmad 4/126; Ad-Dârimi dalam Muqaddimah, no. 95
[5] HR. Muslim dalam al-Jama’ah, no. 867; An-Nasâ’i dalam Shalâtul `Îdain, no. 1578; Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no. 45; Ahmad 3/371; Ad-Darimi dalam Muqaddimah 206.
[6] HR. Ahmad 5/233
[7] HR. Al-Bukhâri dalam al-‘Ilmu, no. 71; Muslim dalam al-`Imârah, no. 1037; Ahmad 4/93.
[8] HR. At-Tirmidzi dalam al-Fitan, no. 2260
[9] HR. At-Tirmidzi dalam Tafsîrul Qur’ân, no. 3058; Ibnu Majah dalam al-Fitan, no. 4014.
[10] HR. Ahmad, 4/74.
[11] HR. At-Tirmidzi dalam al-Îmân, no. 2630
[12] HR. Muslim dalam al-Îmân, no. 144 dan Ahmad 5/386
[13] HR. Hakim dalam Al-Mustadrak.
[14] Muslim dalam al-îmân 118, Turmudzi dalam al-fitan 2195, Ahmad 2/39.
0 comments:
Post a Comment